MENSYUKURI
INDONESIA
Markus Basuki
Pengantar
Bila kita berhitung tentang
sikap/suasana hati terhadap negeri ini (dan para pemimpinnya), mana yang lebih dominan:
mengeluh, mencerca, kecewa, mengumpat, merana, geram, dan putus asa (negatif),
atau bangga, bersyukur, senang, memuji, mendukung, dan berpengharapan
(positif)? Coba pula kita teropong komentar para tokoh lewat media masa, bisa
jadi kita pusing sendiri! Tak terhitung jumlahnya komentar menyudutkan, tak
terbilang juga yang mendukung dan memuji.
Bila kita pandangi kenyataan,
memang benar, jika kondisi negeri kita sekarang ini belum gemah ripah loh jinawi. Benar kiranya jika selama berkali-kali
ganti pemimpin, masih banyak permasalahan bangsa mencuat ke permukaan, yang
memusingkan seluruh kepala! Bila Anda seorang guru, dan mesti menggambarkan
kondisi negeri kita, apa yang akan Anda katakan kepada peserta didik? Anda
lebih menonjolkan kebobrokan-kebobrokan, atau lebih menekankan kehebatan,
kebanggaan dan kekayaan bangsa kita? Anda akan mewariskan kekecewaan mendalam,
ataukah suatu pengharapan yang kokoh? Sabar, pertanyaan-pertanyaan tersebut
tidak usah tergesa dijawab!
Melihat dengan mata
Amerika
Serikat sering disebut sebagai negara super power. Mereka
memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) berkualitas tinggi, menguasai
teknologi modern, memiliki daratan luas dan kini mampu menguasai perekonomian
dunia. Untuk itu mereka membutuhkan ratusan tahun setelah merdeka. Memasuki usia
70 tahun, kenyataannya negeri kita belum menjadi super power! Modal sudah mencukupi: SDM berkualitas (=orang pandai)
melimpah, Sumber Daya Alam (SDA) tanpa tanding, serta memiliki daratan dan
lautan yang sungguh tak terbilang luasnya. Namun, ibarat berdagang, meski modal
sangat besar nyatanya kita bangkrut, karena belum mampu mengelola modal
tersebut.
Litani
permasalahan yang sudah dihafal setiap kepala adalah: kekayaan alam dikuasai
segelintir / sekelompok manusia, dan memberikan kelimpahan hanya bagi kalangan
tertentu. Bahkan kekayaan alam yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak
justru dikuasai perusahaan-perusahaan asing!, nilai tukar rupiah cenderung
merosot, pengangguran (intelektual) melimpah, korupsi merajalela, harga-harga
makin tak terjangkau oleh rakyat kecil, dan kejahatan-kejahatan tumbuh subur!
Negeri ini begitu rentan dilanda krisis: krisis ekonomi, krisis nasionalisme,
krisis kepemimpinan, krisis kepercayaan dan krisis SDM berkualitas. Kebanggaan
sebagai bangsa yang besar belum nampak, baik di dalam, apalagi di luar negeri.
Media masa lebih dominan menyiarkan / memberitakan kejahatan, ketimpangan
masyarakat, serta tontonan glamour dan penuh intrik daripada memberikan sajian
yang menyejukkan hati. Para pemimpin kebanyakan hadir sebagai sosok penguasa yang
haus kekayaan daripada pelayan masyarakat. Inilah potret negeri kita sekarang! Kita tidak
bisa menyalahkan siapa memotret, sudut pandang dan alat yang digunakan, serta
hasil potretannya, meski yang terpotret masih sebatas kulit luarnya.
Melihat dengan hati
Benarkah
wajah bangsa besar ini begitu buram? Jangan-jangan kacamata yang kita pakai
memang kaca gelap? Ataukah kita belum cukup sabar untuk menyaksikan kebangkitan
negeri ini menjadi Negara besar? Tiga puluh tahun lagi kita memasuki masa
seabad kemerdekaan! Para cerdik pandai mencoba membaca pengharapan dengan
logika. Saat ini bangsa kita tengah memasuki masa-masa keemasan SDM: bonus demografi! Kondisi ketika tenaga
kerja produktif jauh lebih besar ketimbang tenaga kerja tak produktif, kondisi
yang jika digarap dengan baik akan menjadi berkah melimpah! SDM berkualitas
sesungguhnya melimpah, hanya mesti dipoles dan dibentuk menjadi SDM unggul
dengan sentuhan karakter. Jika SDM digarap dengan baik saat kita mendapat bonus
demografi dari Tuhan, maka akan menjadi kekuatan luar biasa bagi bangsa untuk
menjadi bangsa super power! Tetapi, salah mengelola SDM, bonus demografi justru
akan menjadi bencana. Sumberdaya alam kita melimpah ruah, bahkan menjadi
incaran setiap bangsa. Sekarang ini sedang ada gerakan kuat untuk menyiapkan
generasi berkualitas yang mampu mengelola segala kekayaan bangsa untuk bangsa. Memang,
gerakan itu masih sering dihambat oleh sejumlah oknum yang lebih mementingkan
diri dan kelompoknya, daripada memikirkan bangsa. Namun, optimism tetap harus
didahulukan. Kini juga sedang ada kekuatan besar tak kasat mata yang sedang
berjuang untuk kejayaan bangsa!
Pandanglah,
betapa negeri ini sungguh “Bhinneka Tunggal Ika”! Meski beraneka suku, ras,
agama, serta status sosial ternyata bangsa ini dapat bersatu, rukun dan damai
dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia! Orang sering membuat
perbandingan bangsa kita dengan kondisi Timur Tengah. Negara-negara Timur
Tengah itu bisa dikatakan: satu daratan luas, satu bangsa, satu bahasa, satu
peradapan, satu iklim dan satu budaya. Namun nyatanya mereka terkotak-kotak
menjadi sekian banyak kelompok yang saling bertikai dan berperang. Carut marut
kenyataan yang sifatnya “sesaat” dan sporadis kadang menutup kehebatan yang
besar. Kondisi tak menyenangkan yang sesaat sering mengaburkan harta kekayaan
abadi! Mungkin kita perlu belajar membaca dengan kaca bening. Mungkin kita
perlu belajar berkaca dengan cermin datar, bukan cermin cembung dan cekung.
Mungkin kita perlu belajar melihat dengan hati!
Sudut pandang pendidikan
Masih
segar dalam ingatan kita, beberapa tahun silam sejumlah besar pendidik
berbondong-bondong unjuk gigi dan unjuk rasa untuk mencoba membendung lahirnya
produk hukum yang dinilai akan memberangus lembaga-lembaga pendidikan katolik:
UU Sisdiknas! Lalu dalam dua dasawarsa terakhir kita dicemaskan dengan kondisi
pendidikan katolik yang dinilai mengalami kemunduran kualitas dan kuantitas.
Bahkan para Bapa Gereja sendiri menengarai sedang terjadi disorientasi
pendidikan katolik. Kesadaran ini, meski kadang terlambat datang, telah
mendorong para insan pendidikan untuk mengembalikan jati dirinya. Kini tengah
terjadi upaya menemukan kembali “roh” yang hilang tersebut. Roh itu adalah
kekhasan sekolah katolik untuk setia
pada usaha mencerdaskan bangsa; setia
pada ketentuan-ketentuan Gereja; dan setia pada spiritualitas pendiri (Nota
Pastoral KWI 2009). Impikasinya adalah: pendidikan yang ”melayani”,
”memerdekakan”, dan ”membawa damai”! Kini dunia pendidikan katolik kembali pada
jati dirinya untuk ikut membentuk manusia integral (Kitab Hukum Kanonik, kan. 795), yakni subjek didik yang
memiliki sikap: religius, budi luhur, adil, demokratis, toleran, mandiri,
tanggung jawab, disiplin, solider, loyal, tangguh, cerdas, terampil, dinamis
dan optimis (Gravisimum Educationis,
art. 1, 2). Cetak biru pendidikan katolik ini
harus dipajang kembali di setiap hati!
Ketika
dunia pendidikan katolik masih mencoba meramu kembali konsep pendidikan yang
unggul sesuai jati dirinya, kita dihadapkan pada kondisi konkret di lapangan.
Banyak lembaga pendidikan katolik mulai ditinggalkan masyarakat (bahkan
ditinggalkan umat katolik sendiri!). Sejumlah lembaga pendidikan katolik
ditutup karena tidak mampu beroperasi lagi. Gerakan “Pendidikan Gratis” atau
“Pendidikan Murah” yang dicanangkan pemerintah, dibarengi dengan tak
terkendalinya penerimaan peserta didik pada sekolah-sekolah pemerintah telah
mematikan lembaga-lembaga pendidikan katolik. Kini lembaga-lembaga katolik
dihadapkan pada dilematika (bahkan: trilematika): pelayanan kaum miskin, menjaga
kehidupan dan menjaga kualitas layanan! Ketika suatu lembaga mengutamakan
pelayanan semata, dia tidak dapat menghidupi dirinya, namun saat dia menjual
mahal layanannya, dia akan ditinggalkan pelanggannya.
Di
luar masalah-masalah tersebut ada hal penting yang harus dipegang oleh setiap
insan yang peduli masa depan bangsa. Siapapun kita, pendidik di sekolah atau
orangtua di rumah, memiliki kewajiban moral yang super penting: menyiapkan
generasi berkualitas! Bagaimana caranya? Caranya adalah, tanamkan semangat dan
pengharapan pada setiap dada generasi muda! Jangan cekoki jiwa orang-orang muda
dengan berbagai kebobrokan, tetapi isilah hati mereka dengan benih masa depan :
semangat juang, dan keyakinan diri. Tugas pendidik adalah membentuk jiwa
pejuang, bukan pecundang, membentuk jiwa berpengharapan, bukan jiwa putus asa!
Berbagai permasalahan bangsa yang selalu digembar-gemborkan para pemain politik
tidak boleh mengganggu upaya menyiapkan generasi emas kita, generasi “bangsa
besar”, generasi seratus tahun Indonesia! Jadikan momentum bonus demografi sebagai momentum kebangkitan bangsa. Dan itu bisa
kita persiapkan!
Mewariskan harapan
Benar
adanya, bahwa semuanya dimulai dengan syukur! Syukur yang sejati akan membawa
kita pada kondisi “tahu diri.” Bila
“virus syukur” ini telah menyebar pada setiap insan, maka semuanya akan baik
adanya, bahkan sangat baik adanya. Maka tugas kita adalah menularkan “virus
syukur” itu pada setiap orang yang kita jumpai, terlebih generasi penerus.
Dengan berbekal hati yang penuh syukur, pikiran, perkataan dan perbuatan akan
lebih mudah dikendalikan. Sangat banyak hal yang harus selalu kita syukuri:
negeri, kemerdekaan, suasana damai, rasa aman. Demikian pula para pemimpin yang
baik, orangtua, teman dan sahabat perlu disyukuri. Kekayaan alam, rejeki,
kesempatan bekerja dan belajar juga perlu disyukuri. Demikian pula sejumlah
besar lainnya menunggu kesadaran kita untuk mensyukurinya. Betapa indahnya jika
rasa syukur itu dimiliki setiap insan!
Di
kalangan pendidik ada keyakinan yang rata-rata sama: kita tidak bisa mengubah
kondisi sekarang ini, tetapi kita bisa menyiapkan perubahan untuk generasi
mendatang. Itulah tugas pendidik dan para orangtua: menyiapkan generasi
perubahan! Bagaimana caranya? Dimulai dari anak-anak usia dini: suapi
keseharian mereka dengan suasana batin yang damai dan penuh kasih, jangan
jejali dengan tontonan keras, apalagi menonton kekerasan orang-orang dekatnya,
termasuk orangtuanya. Anak-anak sekolah: sajikan kesempatan belajar tentang
banyak hal, dalam suasana tenang dan senang. Pembelajaran dan pergaulan yang
menyenangkan di sekolah, di rumah dan di masyarakat akan memumpuk pengharapan
akan masa depan yang cerah. Kondisi keluarga yang carut-marut, tanpa dikonsep
pun akan menanamkan konsep kuat pada anak-anak akan masa depan yang
carut-marut! Biarkan anak-anak mengalami suka - duka, kemudahan - kesulitan
dalam pergaulan dan pembelajaran sehari-hari, dalam kerangka kondisi keluarga
yang harmonis. Karena dari sana mereka akan terbentuk menjadi pribadi yang
kuat, kokoh, dan selalu ceria. Pengalaman membuktikan, anak-anak yang sering
melakukan kekerasan kepada teman-temannya, ternyata karena terbiasa mendapat
kekerasan dalam keluarganya (dan mungkin di sekolahnya).
Mensyukuri
bangsa ini, mensyukuri kemerdekaan negeri ini ternyata salah satunya bisa
melalui ini: ikut menyiapkan generasi mendatang dengan baik. Menyiapkan
generasi yang baik dapat dilakukan siapa saja: orangtua, guru, pemuka agama,
pemuka masyarakat dan setiap orang. Yang menjadi prioritas kita sekarang adalah
menanamkan mindset baru pada
orang-orang muda kita, bahwa mereka adalah pemilik masa depan bangsa, mereka
memiliki kemampuan lebih untuk menjadi “pemilik” masa depan. Dan untuk itu
sadarkan mereka bahwa dengan memiliki keyakinan dan kesadaran akan masa depan
yang cerah akan mendorong munculnya energi hidup dalam diri mereka untuk
bekerja keras, berjuang keras, dengan tulus dan jujur. Ibarat biji tanaman,
kesadaran, keyakinan, niat kuat dan kegembiraan akan berkembang menjadi
kekuatan besar untuk sukses di masa depan. Tanamkan kepada orang-orang muda
bahwa bersyukur itu tidak cukup dengan mengucapkan doa, tetapi lebih nyata
dalam bentuk komitmen dan tindakan. Ketika kita memasuki usia seratus tahun
bangsa ini, tiga puluh tahun mendatang, ketika melihat negeri ini telah berubah
menjadi kokoh kuat, gemah ripah loh
jinawi, ketika kita boleh menyaksikan lahirnya “Generasi Kencana” syukur
kita menjadi semakin sempurna!(Malang, 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar