Minggu, 21 Februari 2016

MENSYUKURI INDONESIA



MENSYUKURI INDONESIA
Mengintip dari Pelataran Pendidikan
Markus Basuki


Pengantar
Bila kita berhitung tentang sikap/suasana hati terhadap negeri ini (dan para pemimpinnya), mana yang lebih dominan: mengeluh, mencerca, kecewa, mengumpat, merana, geram, dan putus asa (negatif), atau bangga, bersyukur, senang, memuji, mendukung, dan berpengharapan (positif)? Coba pula kita teropong komentar para tokoh lewat media masa, bisa jadi kita pusing sendiri! Tak terhitung jumlahnya komentar menyudutkan, tak terbilang juga yang mendukung dan memuji.
Bila kita pandangi kenyataan, memang benar, jika kondisi negeri kita sekarang ini belum gemah ripah loh jinawi. Benar kiranya jika selama berkali-kali ganti pemimpin, masih banyak permasalahan bangsa mencuat ke permukaan, yang memusingkan seluruh kepala! Bila Anda seorang guru, dan mesti menggambarkan kondisi negeri kita, apa yang akan Anda katakan kepada peserta didik? Anda lebih menonjolkan kebobrokan-kebobrokan, atau lebih menekankan kehebatan, kebanggaan dan kekayaan bangsa kita? Anda akan mewariskan kekecewaan mendalam, ataukah suatu pengharapan yang kokoh? Sabar, pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak usah tergesa dijawab!

Melihat dengan mata
            Amerika Serikat sering  disebut sebagai negara super power.  Mereka  memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) berkualitas tinggi, menguasai teknologi modern, memiliki daratan luas dan kini mampu menguasai perekonomian dunia. Untuk itu mereka membutuhkan  ratusan tahun setelah merdeka. Memasuki usia 70 tahun, kenyataannya negeri kita belum menjadi super power! Modal sudah mencukupi: SDM berkualitas (=orang pandai) melimpah, Sumber Daya Alam (SDA) tanpa tanding, serta memiliki daratan dan lautan yang sungguh tak terbilang luasnya. Namun, ibarat berdagang, meski modal sangat besar nyatanya kita bangkrut, karena belum mampu mengelola modal tersebut.
            Litani permasalahan yang sudah dihafal setiap kepala adalah: kekayaan alam dikuasai segelintir / sekelompok manusia, dan memberikan kelimpahan hanya bagi kalangan tertentu. Bahkan kekayaan alam yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak justru dikuasai perusahaan-perusahaan asing!, nilai tukar rupiah cenderung merosot, pengangguran (intelektual) melimpah, korupsi merajalela, harga-harga makin tak terjangkau oleh rakyat kecil, dan kejahatan-kejahatan tumbuh subur! Negeri ini begitu rentan dilanda krisis: krisis ekonomi, krisis nasionalisme, krisis kepemimpinan, krisis kepercayaan dan krisis SDM berkualitas. Kebanggaan sebagai bangsa yang besar belum nampak, baik di dalam, apalagi di luar negeri. Media masa lebih dominan menyiarkan / memberitakan kejahatan, ketimpangan masyarakat, serta tontonan glamour dan penuh intrik daripada memberikan sajian yang menyejukkan hati. Para pemimpin kebanyakan hadir sebagai sosok penguasa yang haus kekayaan daripada pelayan masyarakat.  Inilah potret negeri kita sekarang! Kita tidak bisa menyalahkan siapa memotret, sudut pandang dan alat yang digunakan, serta hasil potretannya, meski yang terpotret masih sebatas kulit luarnya.


Melihat dengan hati
            Benarkah wajah bangsa besar ini begitu buram? Jangan-jangan kacamata yang kita pakai memang kaca gelap? Ataukah kita belum cukup sabar untuk menyaksikan kebangkitan negeri ini menjadi Negara besar? Tiga puluh tahun lagi kita memasuki masa seabad kemerdekaan! Para cerdik pandai mencoba membaca pengharapan dengan logika. Saat ini bangsa kita tengah memasuki masa-masa keemasan SDM: bonus demografi! Kondisi ketika tenaga kerja produktif jauh lebih besar ketimbang tenaga kerja tak produktif, kondisi yang jika digarap dengan baik akan menjadi berkah melimpah! SDM berkualitas sesungguhnya melimpah, hanya mesti dipoles dan dibentuk menjadi SDM unggul dengan sentuhan karakter. Jika SDM digarap dengan baik saat kita mendapat bonus demografi dari Tuhan, maka akan menjadi kekuatan luar biasa bagi bangsa untuk menjadi bangsa super power! Tetapi, salah mengelola SDM, bonus demografi justru akan menjadi bencana. Sumberdaya alam kita melimpah ruah, bahkan menjadi incaran setiap bangsa. Sekarang ini sedang ada gerakan kuat untuk menyiapkan generasi berkualitas yang mampu mengelola segala kekayaan bangsa untuk bangsa. Memang, gerakan itu masih sering dihambat oleh sejumlah oknum yang lebih mementingkan diri dan kelompoknya, daripada memikirkan bangsa. Namun, optimism tetap harus didahulukan. Kini juga sedang ada kekuatan besar tak kasat mata yang sedang berjuang untuk kejayaan bangsa!
            Pandanglah, betapa negeri ini sungguh “Bhinneka Tunggal Ika”! Meski beraneka suku, ras, agama, serta status sosial ternyata bangsa ini dapat bersatu, rukun dan damai dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia! Orang sering membuat perbandingan bangsa kita dengan kondisi Timur Tengah. Negara-negara Timur Tengah itu bisa dikatakan: satu daratan luas, satu bangsa, satu bahasa, satu peradapan, satu iklim dan satu budaya. Namun nyatanya mereka terkotak-kotak menjadi sekian banyak kelompok yang saling bertikai dan berperang. Carut marut kenyataan yang sifatnya “sesaat” dan sporadis kadang menutup kehebatan yang besar. Kondisi tak menyenangkan yang sesaat sering mengaburkan harta kekayaan abadi! Mungkin kita perlu belajar membaca dengan kaca bening. Mungkin kita perlu belajar berkaca dengan cermin datar, bukan cermin cembung dan cekung. Mungkin kita perlu belajar melihat dengan hati!

Sudut pandang pendidikan
            Masih segar dalam ingatan kita, beberapa tahun silam sejumlah besar pendidik berbondong-bondong unjuk gigi dan unjuk rasa untuk mencoba membendung lahirnya produk hukum yang dinilai akan memberangus lembaga-lembaga pendidikan katolik: UU Sisdiknas! Lalu dalam dua dasawarsa terakhir kita dicemaskan dengan kondisi pendidikan katolik yang dinilai mengalami kemunduran kualitas dan kuantitas. Bahkan para Bapa Gereja sendiri menengarai sedang terjadi disorientasi pendidikan katolik. Kesadaran ini, meski kadang terlambat datang, telah mendorong para insan pendidikan untuk mengembalikan jati dirinya. Kini tengah terjadi upaya menemukan kembali “roh” yang hilang tersebut. Roh itu adalah kekhasan sekolah katolik untuk setia pada usaha mencerdaskan bangsa; setia pada ketentuan-ketentuan Gereja; dan setia pada spiritualitas pendiri (Nota Pastoral KWI 2009). Impikasinya adalah: pendidikan yang ”melayani”, ”memerdekakan”, dan ”membawa damai”! Kini dunia pendidikan katolik kembali pada jati dirinya untuk ikut membentuk manusia integral (Kitab Hukum Kanonik, kan. 795), yakni subjek didik yang memiliki sikap: religius, budi luhur, adil, demokratis, toleran, mandiri, tanggung jawab, disiplin, solider, loyal, tangguh, cerdas, terampil, dinamis dan optimis (Gravisimum Educationis,  art. 1, 2). Cetak biru pendidikan katolik ini harus dipajang kembali di setiap hati!
            Ketika dunia pendidikan katolik masih mencoba meramu kembali konsep pendidikan yang unggul sesuai jati dirinya, kita dihadapkan pada kondisi konkret di lapangan. Banyak lembaga pendidikan katolik mulai ditinggalkan masyarakat (bahkan ditinggalkan umat katolik sendiri!). Sejumlah lembaga pendidikan katolik ditutup karena tidak mampu beroperasi lagi. Gerakan “Pendidikan Gratis” atau “Pendidikan Murah” yang dicanangkan pemerintah, dibarengi dengan tak terkendalinya penerimaan peserta didik pada sekolah-sekolah pemerintah telah mematikan lembaga-lembaga pendidikan katolik. Kini lembaga-lembaga katolik dihadapkan pada dilematika (bahkan: trilematika): pelayanan kaum miskin, menjaga kehidupan dan menjaga kualitas layanan! Ketika suatu lembaga mengutamakan pelayanan semata, dia tidak dapat menghidupi dirinya, namun saat dia menjual mahal layanannya, dia akan ditinggalkan pelanggannya.
            Di luar masalah-masalah tersebut ada hal penting yang harus dipegang oleh setiap insan yang peduli masa depan bangsa. Siapapun kita, pendidik di sekolah atau orangtua di rumah, memiliki kewajiban moral yang super penting: menyiapkan generasi berkualitas! Bagaimana caranya? Caranya adalah, tanamkan semangat dan pengharapan pada setiap dada generasi muda! Jangan cekoki jiwa orang-orang muda dengan berbagai kebobrokan, tetapi isilah hati mereka dengan benih masa depan : semangat juang, dan keyakinan diri. Tugas pendidik adalah membentuk jiwa pejuang, bukan pecundang, membentuk jiwa berpengharapan, bukan jiwa putus asa! Berbagai permasalahan bangsa yang selalu digembar-gemborkan para pemain politik tidak boleh mengganggu upaya menyiapkan generasi emas kita, generasi “bangsa besar”, generasi seratus tahun Indonesia! Jadikan momentum bonus demografi sebagai momentum kebangkitan bangsa. Dan itu bisa kita persiapkan!

Mewariskan harapan
            Benar adanya, bahwa semuanya dimulai dengan syukur! Syukur yang sejati akan membawa kita pada kondisi “tahu diri.”  Bila “virus syukur” ini telah menyebar pada setiap insan, maka semuanya akan baik adanya, bahkan sangat baik adanya. Maka tugas kita adalah menularkan “virus syukur” itu pada setiap orang yang kita jumpai, terlebih generasi penerus. Dengan berbekal hati yang penuh syukur, pikiran, perkataan dan perbuatan akan lebih mudah dikendalikan. Sangat banyak hal yang harus selalu kita syukuri: negeri, kemerdekaan, suasana damai, rasa aman. Demikian pula para pemimpin yang baik, orangtua, teman dan sahabat perlu disyukuri. Kekayaan alam, rejeki, kesempatan bekerja dan belajar juga perlu disyukuri. Demikian pula sejumlah besar lainnya menunggu kesadaran kita untuk mensyukurinya. Betapa indahnya jika rasa syukur itu dimiliki setiap insan!
            Di kalangan pendidik ada keyakinan yang rata-rata sama: kita tidak bisa mengubah kondisi sekarang ini, tetapi kita bisa menyiapkan perubahan untuk generasi mendatang. Itulah tugas pendidik dan para orangtua: menyiapkan generasi perubahan! Bagaimana caranya? Dimulai dari anak-anak usia dini: suapi keseharian mereka dengan suasana batin yang damai dan penuh kasih, jangan jejali dengan tontonan keras, apalagi menonton kekerasan orang-orang dekatnya, termasuk orangtuanya. Anak-anak sekolah: sajikan kesempatan belajar tentang banyak hal, dalam suasana tenang dan senang. Pembelajaran dan pergaulan yang menyenangkan di sekolah, di rumah dan di masyarakat akan memumpuk pengharapan akan masa depan yang cerah. Kondisi keluarga yang carut-marut, tanpa dikonsep pun akan menanamkan konsep kuat pada anak-anak akan masa depan yang carut-marut! Biarkan anak-anak mengalami suka - duka, kemudahan - kesulitan dalam pergaulan dan pembelajaran sehari-hari, dalam kerangka kondisi keluarga yang harmonis. Karena dari sana mereka akan terbentuk menjadi pribadi yang kuat, kokoh, dan selalu ceria. Pengalaman membuktikan, anak-anak yang sering melakukan kekerasan kepada teman-temannya, ternyata karena terbiasa mendapat kekerasan dalam keluarganya (dan mungkin di sekolahnya).
            Mensyukuri bangsa ini, mensyukuri kemerdekaan negeri ini ternyata salah satunya bisa melalui ini: ikut menyiapkan generasi mendatang dengan baik. Menyiapkan generasi yang baik dapat dilakukan siapa saja: orangtua, guru, pemuka agama, pemuka masyarakat dan setiap orang. Yang menjadi prioritas kita sekarang adalah menanamkan mindset baru pada orang-orang muda kita, bahwa mereka adalah pemilik masa depan bangsa, mereka memiliki kemampuan lebih untuk menjadi “pemilik” masa depan. Dan untuk itu sadarkan mereka bahwa dengan memiliki keyakinan dan kesadaran akan masa depan yang cerah akan mendorong munculnya energi hidup dalam diri mereka untuk bekerja keras, berjuang keras, dengan tulus dan jujur. Ibarat biji tanaman, kesadaran, keyakinan, niat kuat dan kegembiraan akan berkembang menjadi kekuatan besar untuk sukses di masa depan. Tanamkan kepada orang-orang muda bahwa bersyukur itu tidak cukup dengan mengucapkan doa, tetapi lebih nyata dalam bentuk komitmen dan tindakan. Ketika kita memasuki usia seratus tahun bangsa ini, tiga puluh tahun mendatang, ketika melihat negeri ini telah berubah menjadi kokoh kuat, gemah ripah loh jinawi, ketika kita boleh menyaksikan lahirnya “Generasi Kencana” syukur kita menjadi semakin sempurna!(Malang, 2015)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar