Selasa, 25 Mei 2010

Mengurai Masalah Pendidikan di Indonesia


BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

Kualitas pendidikan di Indonesia amat memprihatinkan. Data UNESCO (2000) membuktikan bahwa peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index) Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998) dan ke-109 (1999). Dan menurut survey Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitan pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Sedang data Balitbang (2003) menunjukkan kenyataan bahwa dari 146.052 Sekolah Dasar di Indonesia ternyata hanya ada delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP). Dari 20.918 SMP di Indonesia hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 SMA hanya tujuh sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (Manik: 2006).
Jika kondisi di atas dirunut penyebabnya, maka kita dihadapkan pada masalah yang kompleks antara lain: sisem kebijakan dalam pendidikan, sarana prasarana, SDM guru dan pengelolaan sekolah (manajemennya), SDM peserta didik, faktor lingkungan (masyarakat), factor budaya dan sejumlah penyebab lain. Dari beberapa faktor tersebut unsur manajemen memiliki arti penting, karena dari sinilah segala kebijakan dan dinamika sekolah berasal. Sumber Daya Manusia (SDM) guru dan pengelola lainnya memang memiliki peran yang sama penting, akan tetapi tanpa kebijakan manajemen yang kokoh potensi-potensi perorangan akan sia-sia. Dengan kata lain manajemen pendidikan menjadi software mutlak magi lembaga pendidikan.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah adalah :
1. Apa saja masalah pendidikan di Indonesia?
2. Mengapa masalah tersebut muncul?
3. Apakah akar masalah pendidikan tersebut?
4. Bagaimana masalah-masalah tersebut dapat diselesaikan?


BAB II
PEMBAHASAN

A. MASALAH-MASALAH PENDIDIKAN DI INDONESIA
Carut-marutnya bangsa dengan berbagai permasalahan yang ada di dalamnya merupakan masalah bersama. Artinya, jika kita ingin melakukan perbaikan maka semua segi kehidupan harus diperbaiki. Sebagai contoh, jika kita ingin melakukan perbaikan menyangkut mafia peradilan sesungguhnya semua segi kehidupan harus disentuh. Demikian pula dunia pendidikan, ia bersentuhan dengan segala permasalahan yang ada dalam negeri ini. Bisa saja dunia pendidikan dituding sebagai biang dari segala permasalahan karena bagaimanapun dalam dunia pendidikanlah semua orang yang berkiprah di negeri ini digembleng. Maka tidak mengherankan kini dunia pendidikan diberi perhatian lebih oleh pemerintah.
Orang-orang yang berkecimpung dalam dunia pendidikan tentu tidak mau dipersalahkan begitu saja, karena selama ini sebenarnya dunia pendidikan belum mendapat perhatian dan pembinaan secara serius. Dunia pendidikan yang sejatinya merupakan wahana strategis untuk investasi sumber daya manusia di masa depan sering justru diperlakukan tidak adil. Sebagai contoh, anggaran pendidikan 20% yang sudah dikuatkan dengan undang-undang, ternyata masih diplintir dan dipolitisir demi kepentingan politis. Jadi, sesungguhnya cukup logis jika akhirnya menurut penilaian berbagai lembaga independen tingkat dunia, kualitas pendidikan di Indonesia masih rendah, bahkan di tingkat Asia Tenggara sekalipun.
Secara umum rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia berkaitan dengan belum adanya standarisasi yang ketat berkaitan dengan kualitas. Oleh sebab itulah pada decade terakhir pemerintah melalui Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) mulai melakukan standarisasi. Keadaan dunia pendidikan yang tanpa standar selama ini diperparah lagi dengan kecenderungan pelaksanaan pendidikan dan pengajaran yang tidak efektif dan efisien. Banyak lembaga pendidikan melaksanakan proses pembelajaran hanya sebagai formalitas, yang penting meluluskan peserta didik.
Dan jika didata, permasalahan pendidikan di Indonesia setidaknya menyangkut beberapa hal berikut :
(1). Rendahnya sarana fisik,
(2). Rendahnya kualitas guru,
(3). Rendahnya kesejahteraan guru,
(4). Rendahnya prestasi siswa,
(5). Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan,
(6). Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan,
(7). Mahalnya biaya pendidikan.
Seorang pakar pendidikan, Paul Suparno, SJ dalam bukunya, Reformasi Pendidikan: Sebuah Rekomendasi, mengatakan bahwa pendidikan di Indonesia sekarang ini diibaratkan seperti mobil tua yang mesinnya rewel yang sedang berada di tengah arus lalu lintas di jalan bebas hambatan (Sukardjo: 2009, hal 79). Digambarkan demikian karena di satu sisi pendidikan di Indonesia dirundung masalah besar, sedangkan di sisi lain tantangan memasuki era global tidak boleh dianggap remeh.


B. PENYEBAB MASALAH PENDIDIKAN DI INDONESIA
Jika dicermati dengan serius, beberapa masalah yang muncul dapat diteliti dan ditemukan penyebabnya.
1. Berkaitan dengan Efektifitas Pendidikan Di Indonesia
Pendidikan yang efektif adalah suatu pendidikan yang memungkinkan peserta didik untuk dapat belajar dengan mudah, menyenangkan dan dapat mencapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan. Dengan demikian, pendidik dituntut untuk dapat meningkatkan efektivitas pembelajaran. Efektifitas pendidikan di Indonesia dinilai sangat rendah. Setelah praktisi pendidikan melakukan penelitian dan survey ke lapangan, salah satu penyebabnya adalah tidak adanya tujuan pendidikan yang jelas sebelm kegiatan pembelajaran dilaksanakan. Hal ini menyebabkan peserta didik dan pendidik tidak tahu “goal” apa yang akan dihasilkan sehingga tidak mempunyai gambaran yang jelas dalam proses pendidikan.

2. Berkaitan dengan Efisiensi Pengajaran Di Indonesia
Efisiensi berkaitan dengan ketercapaian tujuan dikaitkan dengan sarana, biaya dan waktu yang digunakan. Pembelajaran dikatakan efisien jika tujuan tercapai dengan sarana, biaya dan waktu yang minimal. Beberapa masalah efisiensi pengajaran di dindonesia adalah mahalnya biaya pendidikan, waktu yang digunakan dalam proses pendidikan, kualitas pengajar dan banyak hal lain yang menyebabkan kurang efisiennya proses pendidikan di Indonesia. Dengan kata lain pendidikan di Indonesia tidak efisien, dan penyebab terbesar adalah pola manajemen yang lemah. Yang perlu dibangun manajemen meliputi SDM, keuangan, kurikulum serta bidang-bidang lainnya.

3. Berkaitan dengan Standarisasi Pendidikan
Secara umum dapat dikatakan bahwa lembaga pendidikan di Indonesia selama ini belum memiliki standar yang jelas. Sekolah yang baik, seperti apa, masih mengandung subyektivitas tinggi. JIka selama ini lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia masih dinilai rendah oleh dunia tentu tidak bisa dipisahkan dari keberadaan lembaga-lembaga yang tersebar di wilayah territorial yang sangat beragam.
Meski pemerintah telah mengeluarkan produk hokum berkaitan dengan Standar Nasional Pendidikan tidak berarti masalah selesai. Ujian Nasional sebagai salah satu langkah pemetaan kualitas pendidikan masih harus dievaluasi secara jujur dan tuntas.

Di samping berkaitan dengan standarisasi pendidikan, efektivitas dan efisiensi, keterpurukan kualitas pendidikan disebabkan beberapa hal berikut:

(1) Rendahnya sarana fisik.
Data Balitbang Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga yang menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat. Kalau kondisi MI diperhitungkan angka kerusakannya lebih tinggi karena kondisi MI lebih buruk daripada SD pada umumnya. Keadaan ini juga terjadi di SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK meskipun dengan prosentase yang tidak sama.

(2) Rendahnya kualitas guru.
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Persentase guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan pendidikan sbb: untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta).

(3) Rendahnya kesejahteraan guru.
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Guru-guru PNS secara umum pada masa sekarang telah memeiliki kesejahteraan memadai, apalagi yang telah lulus sertifikasi. Namun guru-guru swasta yang jumlahnya tak kalah banyak dengan PNS nasibnya belum banyak berubah. Sebagaian yang telah lulus sertifikasi telah mendapat perbaikan penghasilan, namun sisanya masih jauh lebih besar.

(4) Rendahnya prestasi siswa.
Rendahnya prestasi peserta didik berkaitan erat dengan kelemahan sarana fisik dan kualitas guru.Sebagai gambaran umum, pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.
Dalam hal prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for Development Programme (UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul Human Development Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada jauh di bawahnya.
Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi IEA (Internasional Association for the Evaluation of Educational Achievement) di Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia).

(5) Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan.
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Data tahun 2009 telah menunjukkan perkembangan menggembirakan. Angka Partisipasi kasar (APK) tingkat SMP telah mencapai 98,11% (Buku panduan BOS 2010).

(6) Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan.
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.

(7) Mahalnya biaya pendidikan.
Meski pemerintah mencanangkan pendidikan gratis, untuk beberapa kalangan pendidikan masih dinilai mahal. Setidaknya jika dibanding dengan Negara tetangga, Malaysia. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Kalaupun mereka dapat bersekolah, tidak mampu memilih sekolah berkualuitas. Kini SD dan SMP negeri gratis! Namun keberadaan RSBI dan SBI yang masih dimungkinkan memungut iuran dari orangtua justru berpotensi membuat pembedaan perlakuan. Yang dapat masuk, hanya yang mampu membayar tinggi. Belum lagi sekolah-sekolah swasta, yang mematok biaya tinggi. Orang miskin tidak boleh sekolah.


C. AKAR MASALAH
Tidak mudah mencari akar permasalahan yang menyangkut rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia, karena pendidikan merupakan suatu proses yang telah, sedang dan akan terus berjalan. Kecuali itu kualitas pendidikan berkaitan dengan permasalahan yang sangat kompleks, dari masalah politik, ekonomi, social, budaya hingga hal-hal yang praktis. Keterpurukan kualitas pendidikan suatu Negara harus diteropong mulai dari skala makro yakni system pendidikan nasional. Sistem pendidikan nasional yang ditata sedemikian rupa dapat menjadi kerangka yang kokoh untuk terjadinya suatu budaya pendidikan yang berkualitas.
Sistem pendidikan nasional sesungguhnya sudah tertata, akan tetapi pada tahap implementasinya sangat dipengaruhi oleh banyak aspek. Pemerintah juga telah melakukan berbagai pembaharuan, termasuk desentralisasi pendidikan. Berbagai pembaruan tersebut merupakan upaya menyiapkan bangsa Indonesia agar mampu mengembangkan kehidupan deemokratis yang mantap dalam memasuki era globalisasi dan informasi sekarang ini.
Perkembangan yang terkait dengan IPTEK, masyarakat, berbangsa dan bernegara maupun isu-isu di dalam dan luar negeri merupakan tantangan yang harus dipertimbangkan dalam membangun system pendidikan nasional. Oleh sebab itu pemerintah pusat maupun daerah, dalam hal ini kementerian pendidikan nasional harus mampu dengan cepat menjawab tantangan-tantangan tersebut untuk direalisasikan dalam program pendidikan nasional.
Pendidikan Nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradapan bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan npotensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuahn yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mengemban fungsi tersebut pemerintah menyelenggarakan suatu system pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional (Lamp. Permendiknas No. 22 tahun 2006).
Implementasi UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional selanjutnya dijabarkan dalam berbagai peraturan pemerintah serta peraturan menteri pendidikan. Dari sini sebenarnya sudah tertata suatu system yang memadai hingga terwujudnya system pendidikan yang berkualitas. Hanya tatkala sampai pada implementasi menjadi sangat berbeda dengan idealism. Karena dunia pendidikan kita masih rentan disusupi kepentingan lain, seperti kepentingan politik dll. Kecuali itu penyakit masyarakat berkaitan dengan KKN dan mafia peradilan sungguh mengganggu tercapainya cita-cita pendidikan yang luhur itu.

D. KEMUNGKINAN PENYELESAIAN
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, khususnya bab XIII menyatakan dengan tegas bahwa setiap warga negara berhak atas pendidikan (pasal 31 ayat 1). Dan melalui amandemen ke-4, hal tersebut dipertegas lagi dengan menyatakan bahwa pendidikan merupakan kewajiban warga negara sekaligus pemerintah wajib membiayainya (pasal 31 ayat 2). Bahkan untuk mendukung pembiayaan tersebut dalam pasal 31 ayat 4 ditegaskan bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh prosen dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan daerah. Amanat UUD ini mewajibkan negara/pemerintah sekaligus warga negara untuk mewujudkannya dalam kehidupan nyata.
Ini artinya, peningkatan kualitas pendidikan nasional menjadi tanggung jawab pemerintah. Namun pertanyaannya, mampukah pemerintah melakukannya tanpa dukungan masyarakat luas? Sistem pendidikan nasional telah tersusun dengan rapi. Dan pada tahap implementasinya seluruh lapisan masyarakat harus mendukungnya dengan kritis. Terlebih para insan pendidikan harus mendukung dengan sepenuh hati. Jika terjadi berbagai kendala, semua harus menyikapi secara proporsional. Satu hal yang penting, pendidikan tidak boleh menjadi komoditas politik, diombang-ambingkan oleh iklim politik, karena pendidikan bertanggung jawab atas masa depan bangsa.
“Pendidikan ini menjadi tanggung jawab pemerintah sepenuhnya,” kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono usai rapat kabinet terbatas di Gedung Depdiknas, Jl Jenderal Sudirman, Jakarta, Senin (12/3/2007). Presiden memaparkan beberapa langkah yang akan dilakukan oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, antara lain yaitu:
1. Langkah pertama yang akan dilakukan pemerintah, yakni meningkatkan akses terhadap masyarakat untuk bisa menikmati pendidikan di Indonesia. Tolak ukurnya dari angka partisipasi.
2. Langkah kedua, menghilangkan ketidakmerataan dalam akses pendidikan, seperti ketidakmerataan di desa dan kota, serta jender.
3. Langkah ketiga, meningkatkan mutu pendidikan dengan meningkatkan kualifikasi guru dan dosen, serta meningkatkan nilai rata-rata kelulusan dalam ujian nasional.
4. Langkah keempat, pemerintah akan menambah jumlah jenis pendidikan di bidang kompetensi atau profesi sekolah kejuruan. Untuk menyiapkan tenaga siap pakai yang dibutuhkan.
5. Langkah kelima, pemerintah berencana membangun infrastruktur seperti menambah jumlah komputer dan perpustakaan di sekolah-sekolah.
6. Langkah keenam, pemerintah juga meningkatkan anggaran pendidikan. Untuk tahun 2007 dianggarkan Rp 44 triliun.
7. Langkah ketujuh, adalah penggunaan teknologi informasi dalam aplikasi pendidikan.
8. Langkah terakhir, pembiayaan bagi masyarakat miskin untuk bisa menikmati fasilitas penddikan.
Kecuali delapan langkah yang diungkapkan presiden, pencapaian mutu pendidikan dapat dilakukan melalui tiga cara (Sukardjo: 2009, 86): pertama, melalui Akreditasi, yaitu untuk menentukan kelayakan program dan satuan pendidikan pada jalur pendidikan formal dan non formal pada setiap jengang dan jenisnya, kedua, melalui Sertifikasi, terutama untuk menuju guru-guru yang professional dan ketiga, melalui Penjaminan Mutu Pendidikan, menggunakan kerangka kerja Sistem Penjaminan Mutu yang diharapkan mampu mengukur/mengaudit kinerja organisasi/lembaga pendidikan. Tentu semua harus melalui mekanisme yang lurus dan jujur. Jika dalam pelaksanaan ketiga cara tersebut penuh dengan rekayasa maka peningkatan kualitas pendidikan hanya menjadi mimpi belaka.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Permasalahan pendidikan di Indonesia sangat kompleks. Namun jika dirangkum dapatlah disimpulkan jika kualitas pendidikan di Indonesia saat ini masih kurang baik. Jika diurai, kualitas kurang baik tersebut berkaitan dengan efektivitas dan efisiensi pendidikan, standarisasi pendidikan serta berkaitan dengan : (1) Rendahnya sarana fisik, (2) Rendahnya kualitas guru, (3) Rendahnya kesejahteraan guru, (4) Rendahnya prestasi siswa, (5) Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan, (6) Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan, dan (7) Mahalnya biaya pendidikan.
Pemerintah sudah berupaya melakukan berbagai perubahan di bidang pendidikan, mulai dengan adanya desentralisasi pendidikan, lahirnya undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional, Standarisasi Pendidikan Nasional serta komitmen mengatur anggaran dana pendidikan yang memadai. Komitmen pemerintah tersebut harus didukung dengan sepenuh daya, terutama dalam implementasinya. Sebab tanpa peran serta dan dukungan masyarakat luas secara kritis, pendidikan nasional yang dicita-citakan tidak dapat terlaksana dengan baik.
Langkah-langkah yang dapat diambil, seperti diungkapkan presiden adalah : 1) meningkatkan akses terhadap masyarakat untuk bisa menikmati pendidikan di Indonesia. Tolak ukurnya dari angka partisipasi. 2) menghilangkan ketidakmerataan dalam akses pendidikan, seperti ketidakmerataan di desa dan kota, serta jender, 3) meningkatkan mutu pendidikan dengan meningkatkan kualifikasi guru dan dosen, serta meningkatkan nilai rata-rata kelulusan dalam ujian nasional 4) pemerintah akan menambah jumlah jenis pendidikan di bidang kompetensi atau profesi sekolah kejuruan. Untuk menyiapkan tenaga siap pakai yang dibutuhkan 5) pemerintah berencana membangun infrastruktur seperti menambah jumlah komputer dan perpustakaan di sekolah-sekolah, 6) pemerintah juga meningkatkan anggaran pendidikan, 7) penggunaan teknologi informasi dalam aplikasi pendidikan dan 8) pembiayaan bagi masyarakat miskin untuk bisa menikmati fasilitas penddikan.
Kecuali delapan langkah tersebut ada tiga cara yang dapat ditempuh untuk menuju peningkatan kualitas pendidikan yaitu: a) Akreditasi, b) Sertifikasi dan c) Penjaminan Mutu.


B. Saran

1. Untuk pemerintah :
a. Harus diupayakan kebijakan pendidikan bebas dari pengaruh/kepentingan politik sehingga sungguh-sungguh mengabdi pada masa depan bangsa, khususnya generasi muda.
b. Pejabat yang ditunjuk mengelola pendidikan hendaknya bukan partisan tetapi professional.
c. Kurikulum yang dipergunakan hendaknya jelas arahnya, tidak menjadi ajang coba-coba.
d. Anggaran pendidikan tidak dipolitisir.

2. Untuk sekolah-sekolah :
a. Diperlukan keberanian melakukan perombakan konsep berpikir, terutama men yangkut konsep dasar pendidikan masa sekarang.
b. Harus berani membina dan memberdayakan SDM berkualitas.
c. Mempelopori pendidikan karakter sejak dini.
d. Tidak hanya ikut-ikutan dalam program pendidikan, seperti RSBI, SBI.
e. Setiap sekolah harus mencari keunggulan sendiri.


DAFTAR RUJUKAN

http://forum.detik.com.
http://tyaeducationjournals.blogspot.com/2008/04/efektivitas-dan-efisiensi-anggaran.
http://www.detiknews.com.
http://www.sib-bangkok.org.
http.sayapbarat.wordpress.com/2007/08/29/masalah-pendidikan-di-indonesia.
Kementerian Pendidikan Nasional. 2010. Buku Panduan Bantuan Operasionaol Sekolah. Jakarta : Dirjen Manajemen Pendidkan Dasar dan Menengah.
Manik, F. Suseno. 2006. Pendidikan di Indonesia: Masalah dan Solusinya. Retrieved 9 Mei 2006. dari http://www.mii.fmipa.ugm.ac.id.
Pidarta, Prof. Dr. Made. 2004. Manajemen Pendidikan Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Suyanto, Bagong. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS): Solusi Bagi Upaya Peningkatan Mutu Sekolah, Dalam Gentengkali (Jurnal). Surabaya : Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur.
Sudrajat, Akhmad. 2008. Analisis Situasi Sekolah dalam Pengembangan Kurikulum. Retrieve 23 April 2010 dari http://www.akhmadsudrajat.wordpress.com
Sukardjo, M. dan Ukim Komarudin. 2009. Landasan Pendidikan: Konsep dan Aplikasinya. Jakarta : Rajawali Press.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 (UU 20/2003) tentang Sistem Pendidikan Nasional.