IKLAS
MEMBERI DAN BERKELIMPAHAN
Markus Basuki
Kalau orang mengetahui rahasia ini, mungkin
tidak akan terdengar lagi: panitia Natal kekurangan dana, kolekte kecil,
pembangunan gedung paroki mandeg, HR pegawai kecil, dan sejumlah keluhan lain.
Kalau semua orang mengetahui rahasia ini, mungkin hidup akan lebih
berbunga-bunga, tidak ada lagi: penipuan berkedok arisan, pemerasan dan
penodongan, perampasan dan perampokan, dan sejumlah kejahatan lainnya.
Sebaliknya, orang akan berlomba-lomba berbuat baik, orang akan berlomba-lomba
memberi dengan penuh iklas untuk orang lain!!
Seorang guru spiritual sedang menghadapi kliennya, seorang
pengusaha yang datang jauh-jauh untuk meminta nasihat sehubungan dengan
usahanya yang mengalami kebangkrutan total. Tidak ada lagi yang tersisa dari
jerih payahnya selama bertahun-tahun. Semuanya ludes! Perusahaannya mengalami
kerugian besar setelah tertipu rekan bisnis, lalu terjadi kebakaran hebat atas
pabriknya. Dan yang terakhir istri dan orang-orang dekatnya meninggalkan dia seorang
diri dalam keadaan hancur!
Sang guru spiritual berdiam diri sejenak, menghela
napas kemudian berkata, “Berapa banyak saudara sudah memberi?”
Meminta dan memberi adalah suatu keseharian yang
sangat lumrah, begitu lumrahnya hingga orang tidak menganggapnya lagi sebagai
sesuatu yang penting. Padahal, banyak sisi kehidupan menjadi lebih benderang
karenanya. Katakanlah satu contoh kecil, sebuah kesuksesan ada di depan mata
setelah seseorang meminta kepada-Nya dan Dia memberinya. Namun pernahkah
seseorang menyadari lebih dalam, setelah suatu keinginan tercapai? Acapkali
begitu mudah melupakan peristiwa “meminta – diberi” tersebut. Ucapan terima
kasih dan syukur kadang hanya menjadi ritual penutup yang segera dilupakan.
Maksudnya adalah, setelah seseorang telah diberi
sesuatu yang besar dan berharga, adalah rencana tindak lanjut (RTL) atas
peristiwa itu? Atau mungkin RTL-nya adalah sekedar “kapan meminta lagi.”
Sedikit merenung lebih dalam, mengapa banyak orang
merasa diri tidak “dikabulkan” permintaannya. Mengapa banyak orang merasa
gagal, meski sudah melakukan doa novena dan ritual-ritual lainnya. Sebenarnya,
kita bisa ulang lagi kata-kata sang guru spiritual, “berapa banyak kamu sudah
memberi?”
Bila kita hitung-hitung dengan jujur, dalam doa
kita hampir dipastikan, “meminta” jauh lebih dominan dibanding “siap
memberi.” Nah, di sinilah masalahnya: kita
kurang mau memberi!!
Carilah
dahulu Kerajaan Allah ...
Ada rahasia besar di balik Sabda Tuhan dalam Matius
6:33, “Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu
akan ditambahkan kepadamu.” Mengapa Tuhan melarang kita kawatir? Mengapa Dia
begitu yakin dengan “sesuatu” yang akan kita dapat bila telah menjalankan
pencarian Kerajaan Allah dan kebenarannya? Apakah keYAKINan Yesus itu juga membuat kita YAKIN? Barangkali memang begitu banyak harta berharga di balik
kata-kata Kitab Suci, sehingga mutiara rahasia dalam Mat 6:33 itu seolah
terlupakan.
Mencari Kerajaan Allah adalah mencari Yesus
sendiri, mencari Yesus adalah mencari dan melaksanakan amanat-Nya: Mengasihi
Allah dan sesama. Mengasihi Allah dan sesama adalah memberikan diri. Jadi,
pencarian Kerajaan Allah akan berhasil ketika kita memberikan diri. Dan ketika
kita berhasil memberikan diri, sesungguhnya memberikan harta dan uang hanyalah
soal kecil.
Lalu, apa yang akan ditambahkan kepada kita, bila
telah mendahulukan Kerajaan Allah? Tentu bukan sekedar makanan, minuman dan
pakaian. Kelimpahanlah yang akan diperoleh siapa saja ryang telah mendahulukan
kerajaan Allah. Sebab Dia datang supaya kita mempunyai hidup dalam segala
kelimpahan (Yoh 10:10). Sabda Tuhan adalah kebenaran!!
Memberi =
menerima berlimpah
Logika dangkal, yaitu kerja pikiran yang tergesa
tanpa permenungan barangkali akan menyimpulkan: Semakin memberi, semakin
bangkrut! Semakin banyak mengeluarkan dana untuk orang lain, semakin kecillah
pundi-pundi kekayaannya!
Tetapi pernahkan kita berpikir, mengapa orang-orang
sukses, meski mengalami bencana kebakaran, kebanjiran, dan bencana-bencana
besar lainnya, dalam waktu singkat dapat bangkit kembali, bahkan mampu menjadi
lebih besar dari sebelumnya? Mereka telah menemukan rahasia ini! Bahkan mereka
yang tak mengenal Alkitab pun banyak yang telah menemukan dan menghayati
rahasia ini: Dengan banyak memberi secara iklas, maka kita akan menerima
berlimpah ruah!
Telah banyak dibuat seminar, workshop atau
pelatihan-pelatihan untuk memahami dan menghayati rahasia tersebut. Ribuan
orang penting dari berbagai perusahaan dan lembaga berduyun-duyun mendatangi
acara tersebut, untuk sama-sama menemukan rahasia hidup berkelimpahan. Dan
untuk itu mereka dengan iklas dan sukacita merogoh kocek jutaan hingga puluhan
rupiah. Sebuah pertanyaan menggelitik: Maukah kita mengeluarkan uang pribadi
jutaan rupiah untuk “sekedar” mengikuti seminar?? Kenyataannya, banyak orang
telah lebih dahulu menutup pintu hati, sebelum tamu datang. Dan ketika tamu
datang membawa berkah, hati kita terlanjur tertutup rapat!!
Menabur dan
menuai
Ketika sebutir biji jatuh ke tanah, tanpa kita
sadari telah terjadi proses alamiah yang dahsyat! Kita sadari atau tidak, kita
kehendaki atau tidak biji tadi akan tumbuh dan tumbuh, dari kecil menjadi sedang, lalu menjadi besar dan sangat
besar! Demikian pula bila Kerajaan Allah
sudah kita ketemukan, dari yang semula kecil tanpa kita sadari akan menjadi
sangat besar!! (Mrk 4:31-32). Sesungguhnya hukum tabur – tuai, tidak hanya
ditemukan dalam Kitab Suci, tetapi sudah merupakan hukum alam. Apa yang telah
ditabur, akan tumbuh menjadi besar dan dituai. Maka tidak salah ada pepatah: Siapa
menabur angin, akan menuai badai!
Perbuatan - entah baik atau jahat – itu seperti
biji yang terjatuh ke tanah. Disadari atau tidak, dikehendaki atau tidak, ia
akan bertumbuh menjadi besar dan besar sekali. Maka, memelihara perbuatan jahat
dalam hati sungguh berbahaya bagi masa depan seseorang. Mengapa tidak
memelihara perbuatan baik saja, yang sudah jelas-jelas akan bertumbuh menjadi
kebaikan yang besar??
Memberi dengan iklas dan tanpa pamrih, sudah jelas
tergolong perbuatan baik. Bila ini menjadi sebuah kebiasaan dan disadari dengan
sepenuhnya, maka akan menjadi sebuah bibit tanaman yang subur. Kita tidak usah
menghitung-hitung, berapa biji telah ditabur, tidak perlu berhitung berapa besar panenan akan diperoleh. Karena
perbuatan iklas dan tanpa pamrih tidak pernah memperhitungkan hasilnya. Maka,
Sabda Tuhan: “Tetapi carilah dahulu
Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu”
tidak boleh diterjemahkan sebagai: “Aku akan memberi banyak SUPAYA Tuhan membalasnya berlimpah”!
Hati dan
pikiran iklas
Nah, bagaimana melogikakan kebenaran Sabda Tuhan?
Pertama-tama Sabda tidak boleh ditangkap
dan diolah hanya dengan nalar! Sabda harus diinternalisasikan ke dalam HATI!
Artinya, Sabda itu diimani sepenuhnya melalui kepasrahan hati, bukan melalui
kebenaran logika nalar. Namun, ternyata bila dinalar semakin dalam dalam
kepasrahan, rahasia Sabda Tuhan ternyata melebihi daya nalar manusia! Kehebatan
daya nalar manusia tidak mampu memecahkan rahasia Sabda, tetapi Sabda
seringkali justru mampu memecahkan kebuntuan daya nalar manusia!
Sabda Tuhan tetap adanya. Ilmu pengetahuan selalu
berkembang! Nah, Sabda yang semula sulit dicerna oleh nalar itu sedikit demi
sedikit terkuak oleh kemajuan ilmu pengetahuan. Sekali lagi, kebenaran Sabda
tidak bisa dijajagi oleh kemajuan ilmu pengetahuan, namun kemajuan seringkali
diterangi oleh kedalaman dan keagungan Sabda Tuhan.
Dikalimatkan secara sederhana, tema kita ini
adalah: Jika kita memberi dengan iklas, maka kita akan berkelimpahan! Iklas itu
tanpa pamrih, tanpa mengharap balasan. Menurut ilmu Fisika Quantum, ada hukum
tarik menarik antara hal-hal yang sejenis. Perbuatan adalah energy, yang akan
dipancarkan ke luar. Perbuatan baik, dengan demikian berarti akan memancarkan
energy baik. Nah, energy yang terpancar keluar tadi akan berbalik dengan
membawa energy serupa. Gampangnya, ketika kita memancarkan energy positif
keluar, energy positif kita akan bertambah! Ketika kita mempertahankan rasa
gembira, maka kegembiraan kita akan berlipat. Namun ketika kita memelihara rasa
sedih dalam diri kita, kesedihan itu akan bertambah! Memberi dengan sukacita
akan mendatangkan sukacita besar karena kelimpahan. Sukacita karena kelimpahan
ini sungguh di luar perhitungan manusiawi. Seperti halnya panenan melimpah seringkali
di luar perhitungan.
Jadi, buat apa memelihara perbuatan jahat, kalau
ternyata hanya akan membuat hidup semakin sengsara? Lebih baik memelihara
perbuatan baik, yang akan membuat diri kita semakin bahagia dan berkelimpahan.
Kembali ke masalah memberi dan menerima. Mungkin
banyak di antara kita yang masih terlalu menghitung-hitung secara matematis
sebelum memasukkan uang ke dalam kantong kolekte, amplop Aksi Natal, iuran
paroki atau pesembahan lainnya. Kondisi tersebut justru memberi beban baru
berupa kekawatiran akan kekurangan uang atau kesulitan ekonomi. Sebaliknya
memberi dengan iklas sambil bersyukur atas kelimpahan dari Tuhan, sungguh akan
menghadirkan perasaan damai dan sukacita. Secara matematis kolekte dalam gereja
katolik masih sangat jauh dari konsep “persepuluhan” seperti tercantum dalam Kitab
Perjanjian Lama. Namun, soal jumlah memang tidak menjadi ukuran keiklasan hati.
Tetapi bila mau jujur, kelonggaran gereja katolik dengan memberi kepercayaan
umat untuk memberi sesuai dengan keiklasannya justru sering dijadikan dalil
untuk memberi ala kadarnya, alias sedikit! Nah, kalau memberi kepada Gereja
alias umat alias Tubuh Tuhan dengan ala kadarnya, pantaskah menuntut Tuhan
memberi dengan kelimpahan??
Terakhir, sebagai simpulan, memberi tanpa pamrih dengan iklas, tanpa
menghitung-hitung, akan mendatangkan kelimpahan. Sabda Tuhan memberi dasar dan
ilmu pengetahuan membuktikannya. Sindrom peralihan dari Gereja Misi menuju
Gereja Mandiri tidak boleh menjadi alasan gereja Katolik tidak mandiri. Umat harus
diberdayakan! Sekali lagi : Iklas memberi dan Berkelimpahan! Selamat memberi
persembahan! Tuhan memberkati dengan kelimpahan!
Malang, 23 Desember 2014