MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH
DAN PROFESIONALISME GURU
Markus Basuki
(No. 09370013/MKPP – Program Pasca Sarjana UMM 2009)
Abstrak : Mutu pendidikan di Indonesia masih rendah. Situasi demikian ini mendorong pemerintah melakukan reorientasi penyelenggaraan pendidikan dari sentralistik menuju desentralistik. Melalui Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah sejak tahun 2000 dikenalkan pola baru pengelolaan pendidikan yaitu Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS). Pola ini dilakukan juga dalam rangka menyukseskan program pemerintah tentang Wajib Belajar 9 tahun. Tahun 2005 muncul Undang-undang Guru dan Dosen yang salah satu tujuannya ingin membangun profesionalisme guru melalui program sertifikasi. Manajemen Berbasis Sekolah (istilah baru MPMBS) adalah pembenahan lembaga pendidikan dan manajemennya yang bercirikan otonomi dan demoktasi. Sedangkan SDM guru, sebagai pelaku sentral pendidikan ditingkatkan kualitasnya melalui program sertifikasi.
Kata kunci: MPMBS/MBS, UUGD, sertifikasi, profesionalisme guru.
Latar Belakang
Kualitas pendidikan di Indonesia amat memprihatinkan. Data UNESCO (2000) membuktikan bahwa peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index) Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998) dan ke-109 (1999). Dan menurut survey Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitan pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Sedang data Balitbang (2003) menunjukkan kenyataan bahwa dari 146.052 Sekolah Dasar di Indonesia ternyata hanya ada delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP). Dari 20.918 SMP di Indonesia hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 SMA hanya tujuh sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (Manik, 2006).
Jika kondisi ini dicari penyebabnya, maka kita dihadapkan pada masalah yang kompleks antara lain: 1) kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional yang menggunakan pendekatan education production function atau input-output analysis yang tidak dilaksanakan secara konsekuen, 2) penyelenggaraan pendidikan nasional yang dilakukan secara birokratik-sentralistik dan 3) peranserta masyarakat sangat minim (Depdiknas, 2001:2). Dari tiga faktor tersebut setidaknya ada dua unsur yang mendesak harus dibangun yaitu manajemen pendidikan dan pembangnan SDM.
Dari MPMBS sampai MBS
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) adalah model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan secara langsung semua warga sekolah untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional. Otonomi yang lebih besar mendorong sekolah semakin mandiri, baik dalam pengembangan program-programnya, juga dalam pengambilan keputusan. Jadi MPMBS memiliki tjuan utama memandirikan atau memberdayakan sekolah dengan pemberian kewenangan (otonomi) kepada sekolah dan mendorong melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif (Depdiknas, 2001: 4). Tujuan MPMBS secara lebih rinci antara lain: meningkatkan mutu pendidikan, meningkatkan kepedulian warga sekolah, meningkatkan tanggungjawab sekolah terhadap orangtua dan meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah.
Sejak tahun 1999 pola MPMBS diujicobakan terhadap 3000 SMP di seluruh Indonesia baik negeri maupun swasta. Berdasarkan laporan-laporan tahunan dan hasil monitoring serta evaluasi selama kurun waktu lima tahun diketahui telah terjadi perbaikan dan peningkatan mutu pendidikan di sekolah. Peningkatan itu meliputi bidang akademik maupun non akademik. Pola MPMBS yang kemudian diubah menjadi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) juga mengakibatkan perbaikan tata pengelolaan pendidikan di tingkat sekolah, baik transparansi, akuntabilitas maupun kemandirian dalam pengembangan program dan pembiayaan (Depdiknas, 2007: 2).
Berdasarkan temuan-temuan tersebut, serta sesuai dengan jiwa Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (2003)maka pola MBS diharapkan diterapkan pada semua SMP yang ada. Bahkan jika memang terbukti efektif meningkatkan kualitas pendidikan, dapat diterapkan kepada semua sekolah pada setiap jenjang. Permasalahannya penilaian kualitas pendidikan tentu tidak sesederhana itu. Penilaian kualitas pendidikan harus dilakukan oleh pihak yang benar-benar independen, bukan oleh mereka yang berkecimpung dalam dunia pendidikan di Indonesia.
Undang-undang Guru dan Dosen dan Program Sertifikasi Guru
Sejak dicanangkannya MBS (tahun 1999) hingga tahun 2004 secara intern telah terjadi peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia, khususnya SMP-SMP yang menjadi pilot project MBS. Namun, penilaian dunia luar, terutama UNESCO, lembaga independen tingkat dunia, tetap menempatkan Indonesia sebagai negara yang tertinggal dalam pendidikan, bahkan tertinggal dari negara-negara Asean sekalipun. Disadari bahwa dunia pendidikan di Indonesia yang perlu pembenahan bukan hanya manajemen lembaga, tetapi juga SDM-nya. Guru adalah sosok sentral dan penting dalam pembaharuan pendidikan. Intinya, untuk meningkatkan kualitas pendidikan, guru harus professional dulu. Tetapi tantangan guru professional selalu dating bersamaan dengan peningkatan kesejahteraan.
Undang-undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) hadir sebagai jawaban untuk mengubah situasi dengan membidik dua sasaran sekaligus: profesionalisme dan kesejahteraan. UUGD hadir tepat waktu, saat dunia pendidikan di Indonesia berada dalam titik nadir. UUGD diluncurkan terutama untuk membenahi carut marut pendidikan dari satu sisinya yaitu guru. Akan tetapi satu hal yang sangat penting, undang-undang tersebut mewajibkan pemerintah segera melaksanakan program sertifikasi bagi pendidik (guru dan dosen). Terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No. 18 tahun 2007 memberi landasan kuat untuk segera dilaksakannya program sertifikasi guru, meski peraturan pemerintah belum terbit.
Sertifikasi bagi guru dalam jabatan adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru dalam jabatan (Pasal 1 Permendiknas No. 18/2007). Sertifikasi yang mensyaratkan guru harus memiliki kualifikasi akademik sarjana (S1) atau diploma empat (D-IV) itu diselenggarakan oelh perguruan tinggi yang ditunjuk, dilaksanakan melalui uji kompetensi (melalui penialian portofolio) serta lewat jalur pendidikan profesi melalui LPTK yang ditunjuk. Jika guru lulus ujian sertifikasi, ia akan menerima sertifikat profesi pendidik dan berhak atas tunjangan profesi.
Profesionalisme Guru
Lepas dari kelemahan-kelemahan yang muncul saat proses sertifikasi yang melibatkan ratusan ribu guru dan puluhan LPTK di seluruh Indonesia, mereka yang lulus dapat disebut sebagai guru professional. Melalui uji kompetensi, sesungguhnya guru diarahkan pada penguasaan kompetensi minimal yang meliputi kompetensi paedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional (Samani, 2006: 15). Kompetensi professional mencakup dimensi: 1) penguasaan materi ajar secara luas dan mendalam, serta 2) menguasai struktur dan metode keilmuannya. Ini artinya guru professional harus selalu berusaha untuk mengembangkan pembelajaran dengan kreatif dan inovatif sehingga proses pembelajaran di kelas sungguh menjadi pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif dan menyenangkan (PAIKEM).
Guru professional adalah guru yang selalu harus meningkatkan kompetensi profesionalnya dengan berusaha menguasai bidang ilmunya dengan baik, menyegarkan penguasaan ilmu dengan mencari referensi terbaru, mengikuti perkembangan sains dan teknologi, mengembangkanbahan ajar dan media pembelajaran. Berkaitan dengan kompetensi paedagogik guru harus berusaha menguasai pola pembelajaran paradigm baru denga metode inovatif. Kecuali itu guru harus mengembangkan kompetensi social dan kepribadian, karena bagaimanapun di tengah masyarakat guru harus tetap mampu menjadi teladan.
Kesimpulan
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) menjadi pola manajemen yang sejalan dengan otonomi pendidikan. Dengan fleksibilitas sekolah yang lebih besar dalam mengelola sumberdayanya, sekolah akan semakin lincah meningkatkan mutu secara optimal. Sekolah adalah pihak yang paling mengetahui situasi kebutuhan dasar, sehimngga dapat mengambil keputusan yang sesuai dengan kebutuhan tersebut. Manajemen sumberdaya yang efektif dan efisien, serta keterlibatan masyarakat dalam proses control mengarah pada akuntabilitas public yang semakin memadai. Namun di balik itu Sumber Daya Manusia (SDM) pengelola pendidikan, khususnya guru mutlak harus dibenahi. Kehadiran UUGD yang mewajibkan dilaksanakannya program sertifikasi guru mendorong profesionalisme guru. Guru professional dengan imbalan yang selayaknya diharapkan mampu pelan tapi pasti mendongkrak kualitan pendidikan di Indonesia.
Daftar Pustaka
Departemen Pendidikan Nasional. 2001. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Buku 1 Konsep dan Pelaksanaan, Jakarta: Dirjen Dikdasmen.
Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Jakarta: Dirjen Dikdasmen.
Depdiknas. 2007. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No 18 tahun 2007 tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan. Jakarta: PT Kloang Klede Putra Timur.
Manik, F. Suseno. 2006. Pendidikan di Indonesia: Masalah dan Solusinya.Retrieved 9 Mei 2006. dari http://www.mii.fmipa.ugm.ac.id.
Samani, Muchlas, dkk. 2006. Mengenal Sertifikasi Guru di Indonesia. Surabaya: SIC dan APPI.
Suyanto, Bagong. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS): Solsi Bagi Upaya Peningkatan Mutu Sekolah, Dalam Gentengkali (Jurnal). Surabaya : Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur.
Selasa, 01 Desember 2009
Senin, 30 November 2009
Menjadi Guru Profesional melalui PTK
MENJADI GURU PROFESIONAL
MELALUI PENELITIAN TINDAKAN KELAS (PTK)
Markus Basuki
(No. 09370013/MKPP – Program Pasca Sarjana UMM 2009)
Abstrak : Peningkatan mutu pendidikan di Indonesia harus dimulai dari subjek kunci pendidikan yaitu guru. Selama ini guru selalu berhadapan dengan dilema antara profesionalisme dan kesejahteraan. Jika dilema ini tidak terpecahkan maka benang kusut pendidikan Indonesia tidak akan terurai. Undang-undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) hadir sebagai jawaban untuk mengubah situasi dengan membidik dua sasaran sekaligus: profesionalisme dan kesejahteraan. Sertifikasi guru merupakan sarana menuju guru professional sehingga layak menerima tunjangan profesi yang memadai. Penelitian Tindakan Kelas (PTK) merupakan salah satu upaya konkret guru untuk mengembangkan kinerjanya sehingga semakin professional.
Kata kunci: UUGD, sertifikasi guru, guru professional, PTK
Pengantar
Kualitas pendidikan di Indonesia amat memprihatinkan. Data UNESCO (2000) membuktikan bahwa peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index) Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998) dan ke-109 (1999). Dan menurut survey Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitan pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Sedang data Balitbang (2003) menunjukkan kenyataan bahwa dari 146.052 Sekolah Dasar di Indonesia ternyata hanya ada delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP). Dari 20.918 SMP di Indonesia hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 SMA hanya tujuh sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (Manik:2006).
Jika kondisi di atas dirunut penyebabnya, maka kita dihadapkan pada masalah yang kompleks antara lain: sistem kebijakan dalam pendidikan, sarana prasarana, SDM guru dan pengelola sekolah, SDM peserta didik, factor lingkungan (masyarakat), factor budaya dan sejumlah penyebab lain. Dari beberapa factor tersebut unsur guru menempati posisi yang sentral dan strategis. Dengan kata lain jika SDM guru dibangun dengan kokoh akan memberikan dampak positif luar biasa bagi kemajuan pendidikan di Indonesia. Ini artinya guru harus professional dalam bidangnya. Memang harus diakui untuk membangun profesionalisme guru, factor kesejahteraan tidak boleh ditinggalkan. Guru professional hendaklah sekaligus guru yang sejahtera. Inilah tantangan utama pendidikan kita.
Undang-undang Guru dan Dosen dan Sertifikasi Guru
Undang-undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) hadir sebagai jawaban untuk mengubah situasi dengan membidik dua sasaran sekaligus: profesionalisme dan kesejahteraan. UUGD hadir tepat waktu, saat dunia pendidikan di Indonesia berada dalam titik nadir. UUGD diluncurkan terutama untuk membenahi carut marut pendidikan dari satu sisinya yaitu guru. Akan tetapi satu hal yang sangat penting, undang-undang tersebut mewajibkan pemerintah segera melaksanakan program sertifikasi bagi pendidik (guru dan dosen). Terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No. 18 tahun 2007 memberi landasan kuat untuk segera dilaksakannya program sertifikasi guru, meski peraturan pemerintah belum terbit.
Sertifikasi bagi guru dalam jabatan adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru dalam jabatan (Pasal 1 Permendiknas No. 18/2007). Sertifikasi yang mensyaratkan guru harus memiliki kualifikasi akademik sarjana (S1) atau diploma empat (D-IV) itu diselenggarakan oelh perguruan tinggi yang ditunjuk, dilaksanakan melalui uji kompetensi (melalui penialian portofolio) serta lewat jalur pendidikan profesi melalui LPTK yang ditunjuk. Jika guru lulus ujian sertifikasi, ia akan menerima sertifikat profesi pendidik dan berhak atas tunjangan profesi.
Guru Profesional
Lepas dari kelemahan-kelemahan yang muncul saat proses sertifikasi yang melibatkan ratusan ribu guru seluruh Indonesia, mereka yang lulus dapat disebut guru professional. Melalui uji kompetensi sesungguhnya guru diarahkan pada penguasaan konpetensi minimal yang meliputi kompetensi paedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional (Samani, 2006: 15). Kompetensi professional mencakup dimensi: 1) penguasaan materi ajar secara luas dan mendalam, serta 2) menguasai struktur dan metode keilmuannya. Ini artinya guru professional harus selalu berusaha untuk mengembangkan pembelajaran dengan kreatif dan inovatif sehingga proses pembelajaran di kelas sungguh menjadi pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif dan menyenangkan (PAIKEM).
Penelitian Tindakan Kelas (PTK)
Untuk menciptakan pola pembelajaran seperti diharapkan memang guru tidak selalu tanpa masalah. Banyak kendala ditemukan dalam proses pembelajaran yang berpotensi menurunkan keberhasilan pembelajaran. Guru sebagai pelaku pembelajar seharusnya peka dengan masalah-masalah yang muncul sehingga mampu memperbaikinya dalam kegiatan pembelajaran berikutnya.
Banyaknya masalah yang muncul dan menghambat ketercapaian tujuan pembelajaran harus menyadarkan pendidika akan perlunya membuat penelitiaa, sehingga pendeteksian hambatan pembelajaran serta langkah-langkah perbaikan sungguh terencana dengan valid. Penelitian Tindakan Kelas (PTK) menjadi sarana ampuh, yang jika dilakukan dengan sungguh-sungguh oleh pendidik akan mampu meningkatkan kualitas pembelajaran sekaligus meningkatkan kualitas pendidik.
Penelitian Tindakan Kelas atau classroom acton research (CAR) tergolong karya ilmiah, namun memiliki nilai lebih yaitu langsung bersentuhan dengan kepentingan pembelajaran. Melalui PTK guru (pendidik) berusaha menemukan permasalahan di kelas yang dijadikan sebagai dasar perbaikan bagi pembelajaran berikutnya. Dengan ide-idenya guru mengembangkan teori belajar sesuai dengan situasi dan perkembangan peserta didiknya. Kinerja peraikan dan pembaruan guru tersebut akn dapat dikelola dengan baik melalui PTK (Karyono, 2009:1).
Kesimpulan
Guru menempati posisi sentral dan penting dalam upaya pembenahan dunia pendidikan di Indonesia. Program sertifikasi guru yang diamanatkan Undang-undang Guru dan Dosen (UUGD) harus dijadikan momen membangun dan membangkitkan potensi guru menjadi semakin professional. Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan realistis akan mempu memperbaiki proses pembelajaran, yang merupakan titik sentral dunia pemdidikan.
Daftar Rujukan
Dasna, I. Wayan, dkk. 2009. Penelitian Tindakan Kelas dan Penulisan Karya Ilmiah. Malang: Panitia Sertifikasi Guru Rayon 15.
Depdiknas. 2007. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No 18 tahun 2007 tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan. Jakarta: PT Kloang Klede Putra Timur.
Karyono, A. Hari. 2009. Penelitian Tindakan Kelas, Teori dan Praktek. Malang: Surya Pena Gemilang Publishing.
Manik, F. Suseno. 2006. Pendidikan di Indonesia: Masalah dan Solusinya.Retrieved 9 Mei 2006. dari http://www.mii.fmipa.ugm.ac.id.
Samani, Muchlas, dkk. 2006. Mengenal Sertifikasi Guru di Indonesia. Surabaya: SIC dan APPI.
MELALUI PENELITIAN TINDAKAN KELAS (PTK)
Markus Basuki
(No. 09370013/MKPP – Program Pasca Sarjana UMM 2009)
Abstrak : Peningkatan mutu pendidikan di Indonesia harus dimulai dari subjek kunci pendidikan yaitu guru. Selama ini guru selalu berhadapan dengan dilema antara profesionalisme dan kesejahteraan. Jika dilema ini tidak terpecahkan maka benang kusut pendidikan Indonesia tidak akan terurai. Undang-undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) hadir sebagai jawaban untuk mengubah situasi dengan membidik dua sasaran sekaligus: profesionalisme dan kesejahteraan. Sertifikasi guru merupakan sarana menuju guru professional sehingga layak menerima tunjangan profesi yang memadai. Penelitian Tindakan Kelas (PTK) merupakan salah satu upaya konkret guru untuk mengembangkan kinerjanya sehingga semakin professional.
Kata kunci: UUGD, sertifikasi guru, guru professional, PTK
Pengantar
Kualitas pendidikan di Indonesia amat memprihatinkan. Data UNESCO (2000) membuktikan bahwa peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index) Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998) dan ke-109 (1999). Dan menurut survey Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitan pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Sedang data Balitbang (2003) menunjukkan kenyataan bahwa dari 146.052 Sekolah Dasar di Indonesia ternyata hanya ada delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP). Dari 20.918 SMP di Indonesia hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 SMA hanya tujuh sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (Manik:2006).
Jika kondisi di atas dirunut penyebabnya, maka kita dihadapkan pada masalah yang kompleks antara lain: sistem kebijakan dalam pendidikan, sarana prasarana, SDM guru dan pengelola sekolah, SDM peserta didik, factor lingkungan (masyarakat), factor budaya dan sejumlah penyebab lain. Dari beberapa factor tersebut unsur guru menempati posisi yang sentral dan strategis. Dengan kata lain jika SDM guru dibangun dengan kokoh akan memberikan dampak positif luar biasa bagi kemajuan pendidikan di Indonesia. Ini artinya guru harus professional dalam bidangnya. Memang harus diakui untuk membangun profesionalisme guru, factor kesejahteraan tidak boleh ditinggalkan. Guru professional hendaklah sekaligus guru yang sejahtera. Inilah tantangan utama pendidikan kita.
Undang-undang Guru dan Dosen dan Sertifikasi Guru
Undang-undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) hadir sebagai jawaban untuk mengubah situasi dengan membidik dua sasaran sekaligus: profesionalisme dan kesejahteraan. UUGD hadir tepat waktu, saat dunia pendidikan di Indonesia berada dalam titik nadir. UUGD diluncurkan terutama untuk membenahi carut marut pendidikan dari satu sisinya yaitu guru. Akan tetapi satu hal yang sangat penting, undang-undang tersebut mewajibkan pemerintah segera melaksanakan program sertifikasi bagi pendidik (guru dan dosen). Terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No. 18 tahun 2007 memberi landasan kuat untuk segera dilaksakannya program sertifikasi guru, meski peraturan pemerintah belum terbit.
Sertifikasi bagi guru dalam jabatan adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru dalam jabatan (Pasal 1 Permendiknas No. 18/2007). Sertifikasi yang mensyaratkan guru harus memiliki kualifikasi akademik sarjana (S1) atau diploma empat (D-IV) itu diselenggarakan oelh perguruan tinggi yang ditunjuk, dilaksanakan melalui uji kompetensi (melalui penialian portofolio) serta lewat jalur pendidikan profesi melalui LPTK yang ditunjuk. Jika guru lulus ujian sertifikasi, ia akan menerima sertifikat profesi pendidik dan berhak atas tunjangan profesi.
Guru Profesional
Lepas dari kelemahan-kelemahan yang muncul saat proses sertifikasi yang melibatkan ratusan ribu guru seluruh Indonesia, mereka yang lulus dapat disebut guru professional. Melalui uji kompetensi sesungguhnya guru diarahkan pada penguasaan konpetensi minimal yang meliputi kompetensi paedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional (Samani, 2006: 15). Kompetensi professional mencakup dimensi: 1) penguasaan materi ajar secara luas dan mendalam, serta 2) menguasai struktur dan metode keilmuannya. Ini artinya guru professional harus selalu berusaha untuk mengembangkan pembelajaran dengan kreatif dan inovatif sehingga proses pembelajaran di kelas sungguh menjadi pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif dan menyenangkan (PAIKEM).
Penelitian Tindakan Kelas (PTK)
Untuk menciptakan pola pembelajaran seperti diharapkan memang guru tidak selalu tanpa masalah. Banyak kendala ditemukan dalam proses pembelajaran yang berpotensi menurunkan keberhasilan pembelajaran. Guru sebagai pelaku pembelajar seharusnya peka dengan masalah-masalah yang muncul sehingga mampu memperbaikinya dalam kegiatan pembelajaran berikutnya.
Banyaknya masalah yang muncul dan menghambat ketercapaian tujuan pembelajaran harus menyadarkan pendidika akan perlunya membuat penelitiaa, sehingga pendeteksian hambatan pembelajaran serta langkah-langkah perbaikan sungguh terencana dengan valid. Penelitian Tindakan Kelas (PTK) menjadi sarana ampuh, yang jika dilakukan dengan sungguh-sungguh oleh pendidik akan mampu meningkatkan kualitas pembelajaran sekaligus meningkatkan kualitas pendidik.
Penelitian Tindakan Kelas atau classroom acton research (CAR) tergolong karya ilmiah, namun memiliki nilai lebih yaitu langsung bersentuhan dengan kepentingan pembelajaran. Melalui PTK guru (pendidik) berusaha menemukan permasalahan di kelas yang dijadikan sebagai dasar perbaikan bagi pembelajaran berikutnya. Dengan ide-idenya guru mengembangkan teori belajar sesuai dengan situasi dan perkembangan peserta didiknya. Kinerja peraikan dan pembaruan guru tersebut akn dapat dikelola dengan baik melalui PTK (Karyono, 2009:1).
Kesimpulan
Guru menempati posisi sentral dan penting dalam upaya pembenahan dunia pendidikan di Indonesia. Program sertifikasi guru yang diamanatkan Undang-undang Guru dan Dosen (UUGD) harus dijadikan momen membangun dan membangkitkan potensi guru menjadi semakin professional. Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan realistis akan mempu memperbaiki proses pembelajaran, yang merupakan titik sentral dunia pemdidikan.
Daftar Rujukan
Dasna, I. Wayan, dkk. 2009. Penelitian Tindakan Kelas dan Penulisan Karya Ilmiah. Malang: Panitia Sertifikasi Guru Rayon 15.
Depdiknas. 2007. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No 18 tahun 2007 tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan. Jakarta: PT Kloang Klede Putra Timur.
Karyono, A. Hari. 2009. Penelitian Tindakan Kelas, Teori dan Praktek. Malang: Surya Pena Gemilang Publishing.
Manik, F. Suseno. 2006. Pendidikan di Indonesia: Masalah dan Solusinya.Retrieved 9 Mei 2006. dari http://www.mii.fmipa.ugm.ac.id.
Samani, Muchlas, dkk. 2006. Mengenal Sertifikasi Guru di Indonesia. Surabaya: SIC dan APPI.
Konstruktivistik
PEMBELAJARAN BERMAKNA
MELALUI PARADIGMA KONSTRUKTIVISTIK
Markus Basuki
(No. 09370013/MKPP – Program Pasca Sarjana UMM 2009)
Abstrak : Tantangan terbesar insan pendidikan Indonesia masa kini adalah memformat SDM berkualitas. Perubahan radikal sebagai dampak era globalisasi memaksa setiap bangsa, termasuk Indonesia. untuk eksis dan survival dengan SDM unggul. Jika tidak, bangsa itu akan menjadi pecundang (the lossers) dan selalu bergantung pada bangsa lain. Kualitas SDM sangat dipengaruhi oleh sistem pendidikan yang dianut. Indonesia, sebagai bagian dari dunia ketiga kini berada pada titik nadir kualitas pendidikan. Hal ini merupakan hasil dari pola pendidikan paradigma lama yang dipengaruhi paham behavioristik. Pendekatan baru berupa pembelajaran konstruktivistik ditawarkan sebagai salah satu alternative. Pendekatan ini menekankan pada pembelajaran yang berpusat pada aktivitas peserta didik, belajar bagaimana belajar.
Kata kunci: pembelajaran behavioristik, pembelajaran konstruktivistik.
Pendahuluan
Memasuki era global setiap bangsa dituntut mampu bermitra sekaligus berkompetisi dengan bangsa lain. Namun ketika memasuki masa tersebut bangsa Indonesia justru sudah kalah start. Seharusnya bangsa ini telah siap dengan SDM handal yang siap dengan informasi global, pasar global, teknologi global dan gaya hidup global. Namun SDM sebagai produk pendidikan masih amat memprihatinkan. Data UNESCO (2000) membuktikan bahwa peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index) Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998) dan ke-109 (1999). Dan menurut survey Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Sedang data Balitbang (2003) menunjukkan kenyataan bahwa dari 146.052 Sekolah Dasar di Indonesia ternyata hanya ada delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP). Dari 20.918 SMP di Indonesia hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 SMA hanya tujuh sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (Manik, http://www.mii.fmipa.ugm.ac.id.).
Menurut Prof. Dr. Sudarwan Nadim dalam bukunya Menjadi Komunitas Pembelajar, fenomena (pendidikan) Indonesia yang terpuruk ini merupakan korban otoritarianisme Orde Baru, proses pemiskinan yang berlangsung lama, proses pembodohan yang pelan-pelan tapi pasti, konglomerasi yang gagal memberdayakan rakyat akibat kegagalan logika trickle down effect (Wicaksono, http://www.rohadieducation.wordpress.com). Yang harus diperhatikan secara khusus adalah “proses pembodohan” secara konsisten. Banyak langkah sudah diambil, antara lain revisi kurikulum pendidikan, revisi sistem evaluasi, peningkatan sarana prasarana, pelatihan guru hingga diundangkannya Sistem Pendidikan Nasional yang di dalamnya memuat aturan-aturan yang memungkinkan masyarakat luas dapat berpartisipasi lebih aktif dalam penyelenggaraan pendidikan. Kecuali itu otoritas pengambil keputusan yang selama ini sentralistik telah bergeser menuju otonomi daerah. Namun hasil belum menggembirakan.
Hal mendasar yang menjadi akar permasalahan pendidikan adalah paradigma yang mendasari sistem kita. Sejak kemerdekaan, bangsa Indonesia- sebagaimana bangsa-bangsa lain telah mengambil aliran behavioristik sebagai paradigma sistem pendidikan. Maka sesungguhnya hasil pendidikan nasional yang selama ini kita rasakan adalah buah dari sistem pendidikan yang telah lebih lima dasa warsa berlangsung. Pemikiran-pemikiran kritis mengenai sistem pendidikan tentu bukan pertama-tama untuk mempersalahkan dan menggugat, melainkan demi ditemukannya sistem yang mampu mengakomodasi berbagai aspek yang ada demi terciptanya suatu pendidikan yang lebih menyentuh.
Tulisan ini dibuat untuk menjajagi secara sederhana sejauh mana peluang teori belajar Konstruktivistik dapat menjadi salah satu alternatif membangun proses pendidikan dan pembelajaran yang lebih memadai pada masa sekarang.
Hakikat Pembelajaran Behavioristik dan Konstruktivistik
Belajar, menurut Thorndike, seorang penganut paham behavioristik, merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-sosiasi antara peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respon (R) yang diberikan atas stimulus tersebut. Jadi terjadinya belajar adalah pembentukan asosiasi antara stimulus dan respon (Gasong, http://www.images.dani7bd.multiply.com). Kaum behavioristik meyakini bahwa perilaku merupakan kumpulan reflek yang diakibatkan proses conditioning. Reflek berulang-ulang akan menjadi kebiasaan. Dan perilaku akibat pembiasaan ini disebut belajar. Proses belajar bagi kaum behavioristik berlangsung tanpa mempertimbangkan potensi dan kemauan serta kesadaran peserta didik. Maka model pembelajaran bersifat teacher centered. Tujuan pembelajaran ditentukan oleh institusi dan peserta didik tinggal mengikutinya. Implikasinya: materi pelajaran ditentukan pengajar, pengajar aktif menerangkan dan peserta didik hanya pasif menerima hingga saatnya evaluasi. Bisa dikatakan pengajar menjadi satu-satunya sumber belajar. Motivasi belajar hanya dirangsang dengan nilai. Akibatnya tujuan belajar berbelok hanya sekedar sederetan angka. Banyak anak belajar dengan cara menghafal pelajaran, namun materi yang dihafal tersebut tidak diingat lagi ketima ia berada di kelas berikutnya. BIsa terjadi anak yang disebut berprestasi hanyalah anak yang kuat menghafal, padahal pengetahuan yang didapat dengan cara menghafal tidak mampu bertahan lama. Tidak jarang pula peserta didik dijadikan kebanggaan institusi dengan angka-angka yang tinggi, baik lewat ujian nasional maupun lomba-lomba. Akibatnya segala potensi, kemauan dan waktu peserta didik terserap hanya demi nilai (Wicaksono, http://www.rohadieducation.wordpress.com). Jika ini berlangsung beberapa dekade, bisa dipahami benar kalau produk pendidikan kita masih jauh dari memadai.
Model pembelajaran Konstruktivistik adalah alternatif yang diyakini mampu menjawabi kekurangan paham behavioristik. Tentu harus disadari model ini bukanlah satu-satunya yang baik, ap[alagi terbaik. Secara sederhana, konstruktivistik, yang dipelopori oleh J. Piaget, beranggapan bahwa pengetahuan merupakan konstruksi (bentukan) dari kita yang mengenal sesuatu. Seseorang yang belajar itu berarti membentuk pengertian/pengetahuan secara aktif (tidak hanya menerima dari guru!) dan terus-menerus. Metode trial and error, dialog dan partisipasi peserta didik sangat berarti sebagai suatu proses pembentukan pengetahuan dalam pendidikan (Suparno: 2009). Menurut teori belajar konstruktivistik pengetahuan tidak bisa dipindahkan begitu saja dari guru kepada murid. Artinya, peserta didik harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya (Hamzah, http://akhmadsudrajat.wordpress.com). Yang terpenting dalam teori konstruktivistik adalah bahwa dalam proses pembelajaran, peserta didiklah yang harus mendapatkan penekanan. Mereka harus aktif mengembangkan pengetahuannya, mereka pula yang harus bertanggung jawab atas hasilnya. Belajar diarahkan pada experimental learning, yaitu adaptasi kemanusiaan berdasar pengalaman konkret di laboratorium, diskusi dengan teman sekelas, dan kemudian dijadikan ide dan pengembangan konsep baru. Beberapa hal perlu mendapat perhatian: mengutamakan pembelajaran yang nyata dan relevan, mengutamakan proses, menanamkan pembelajaran dalam konteks pengalaman sosial dan dilakukan dalam upaya mengkonstruksi pengalaman (Pranata, http://puslit.petra.ac.id). Proses internalisasi pengetahuan menjadi lebih mengena dalam fahan konstrktivistik karena peserta didik tidak sekedar mendengar dan menghafal, tetapi mengalami, menemukan, memahami, menyimpulkan dan akhirnya menjadikan miliknya.
Membangun Pembelajaran Bermakna dengan Pola Konstruktivistk
Menurut pandangan konstruktivistik belajar dan pembelajaran memiliki ciri : 1) Tujuan pembelajaran ditekankan pada belajar bagaimana belajar. 2) Pengetahuan adalah non-objective, selalu berubah. Belajar adalah penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkret, aktivitas kolaborative, refleksi serta interpretasi. Si belajar memiliki pemahaman tergantung pengalaman dan perspektif interpretasinya sehingga hasilnya individualistic. 3) Penataan lingkungan belajar: tidak teratur, semrawut, si belajar bebas, kebebasan dipandang sebagai penentu keberhasilan dan control belajar dipegang si belajar. 4) Dalam strategi pembelajaran, lebih diarahkan untuk meladeni pandangan pebelajar. Aktivitas belajar lebih didasarkan pada data primer. Pembelajaran menekankan proses. 5) Evaluasi menekankan pada penyusunan makna, menggali munculnya berpikir dengan pemecahan ganda. Dan evaluasi merupakan bagian utuh dari pembelajaran, dan menekankan pada ketrampilan proses (Gasong, http://www.images.dani7bd.multiply.com).
Harus disadari sepenuhnya, bahwa untuk membangun suatu pembelajaran dengan roh konstruktivistik diperlukan dukungan kondisi setempat, baik SDM guru dan peserta didik, lingkungan, juga institusi yang bertanggung jawab atasnya. Dari sisi pendidik, setidaknya telah memiliki paradigma pemikiran yang terbuka tentang pendidikan. Sebagai contoh, jika dahulu keberhasilan mengajar sering dilihat dari ketertiban lahiriah, kini pendidik justru harus siap dengan suatu kesemrawutan. Peserta didik kini diberi keleluasaan berkembang, namun pendidik harus mampu menjadi fasilitator handal sehingga tidak hanyut dengan arus keinginan peserta didik yang mungkin melenceng. Lingkungan, khususnya masyarakat tentu harus memiliki pemahaman yang sama tentang pola pembelajaran ini. Karena tidak bisa dipungkiri, masih banyak orangtua peseta didik yang memiliki pola tradisional dalam pendidikan dan menjadikannya tolok ukur kualitas sekolah yang dipilih. Pada akhirnya kebijakan-kebijakan berupa produk hukum tentang pendidikan seharusnya mendukung paradigma ini. Sebab tak jarang idealisme proses/model pembelajaran yang telah dimiliki oleh sebagian pendidik, dalam implementasinya sering harus berhadapan dengan kebijakan yang bertolak belakang.
Kesimpulan
Dari beberapa uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa model pembelajaran yang mengacu pada teori belajar konstruktivisme lebih memfokuskan pada keberhasilan peserta didik dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Guru menjadi fasilitator yang membantu peserta didik mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi. Namun tetap harus diperhatikan bahwa model pembelajaran ini harus didukung oleh lingkungan yang tepat. Dibutuhkan guru yang memiliki wawasan pendidikan yang maju, tidak terjebak pada rutinisme dan kebiasaan lama. Tujuan model belajar ini adalah menciptakan insan-insan pebelajar yang selalu terdorong mengembangkan diri melalui belajar. Untuk mendorong munculnya mentalitas demikian, institusi pendidikan harus ikut menciptakan situasi masyarakat pebelajar. Semua elemen didorong menjadi manusia pebelajar. Model konstruktivistik akan mencapai hasil optimal jika diterapkan dalam lingkungan manusia pebelajar.
Referensi
Degeng, I.N.S. 1998. Mencari Paradigma Baru Pemecahan Masalah Belajar. Pidato Pengukuhan Guru Besar IKIP Malang. Malang: IKIP Malang.
Gasong, Dina. Tanpa tahun. Model Pembelajaran Konstruktivistik Sebagai Alternatif Mengatasi Masalah Pembelajaran. dari http://www.images.dani7bd.multiply.com.
Hamzah, 2008. Teori Belajar Konstruktivisme. Retrieve 20 Agustus 2008. Dari http://akhmadsudrajat.wordpress.com
Manik, F. Suseno. 2006. Pendidikan di Indonesia: Masalah dan Solusinya.Retrieved 9 Mei 2006. dari http://www.mii.fmipa.ugm.ac.id.
Pranata, Y. Mulyadi. Konstruktivistik: Arah Baru Pembelajaran Desain. Dari http://www.puslit.petra.ac.id.
Wicaksono, Rohadi. 2007. Mengapa Harus Konstruktivistik. Retirieve 19 Juli 2007. dari http://www.rohadieducation.wordpress.com.
Suparno, Paul. 2008. Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
MELALUI PARADIGMA KONSTRUKTIVISTIK
Markus Basuki
(No. 09370013/MKPP – Program Pasca Sarjana UMM 2009)
Abstrak : Tantangan terbesar insan pendidikan Indonesia masa kini adalah memformat SDM berkualitas. Perubahan radikal sebagai dampak era globalisasi memaksa setiap bangsa, termasuk Indonesia. untuk eksis dan survival dengan SDM unggul. Jika tidak, bangsa itu akan menjadi pecundang (the lossers) dan selalu bergantung pada bangsa lain. Kualitas SDM sangat dipengaruhi oleh sistem pendidikan yang dianut. Indonesia, sebagai bagian dari dunia ketiga kini berada pada titik nadir kualitas pendidikan. Hal ini merupakan hasil dari pola pendidikan paradigma lama yang dipengaruhi paham behavioristik. Pendekatan baru berupa pembelajaran konstruktivistik ditawarkan sebagai salah satu alternative. Pendekatan ini menekankan pada pembelajaran yang berpusat pada aktivitas peserta didik, belajar bagaimana belajar.
Kata kunci: pembelajaran behavioristik, pembelajaran konstruktivistik.
Pendahuluan
Memasuki era global setiap bangsa dituntut mampu bermitra sekaligus berkompetisi dengan bangsa lain. Namun ketika memasuki masa tersebut bangsa Indonesia justru sudah kalah start. Seharusnya bangsa ini telah siap dengan SDM handal yang siap dengan informasi global, pasar global, teknologi global dan gaya hidup global. Namun SDM sebagai produk pendidikan masih amat memprihatinkan. Data UNESCO (2000) membuktikan bahwa peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index) Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998) dan ke-109 (1999). Dan menurut survey Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Sedang data Balitbang (2003) menunjukkan kenyataan bahwa dari 146.052 Sekolah Dasar di Indonesia ternyata hanya ada delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP). Dari 20.918 SMP di Indonesia hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 SMA hanya tujuh sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (Manik, http://www.mii.fmipa.ugm.ac.id.).
Menurut Prof. Dr. Sudarwan Nadim dalam bukunya Menjadi Komunitas Pembelajar, fenomena (pendidikan) Indonesia yang terpuruk ini merupakan korban otoritarianisme Orde Baru, proses pemiskinan yang berlangsung lama, proses pembodohan yang pelan-pelan tapi pasti, konglomerasi yang gagal memberdayakan rakyat akibat kegagalan logika trickle down effect (Wicaksono, http://www.rohadieducation.wordpress.com). Yang harus diperhatikan secara khusus adalah “proses pembodohan” secara konsisten. Banyak langkah sudah diambil, antara lain revisi kurikulum pendidikan, revisi sistem evaluasi, peningkatan sarana prasarana, pelatihan guru hingga diundangkannya Sistem Pendidikan Nasional yang di dalamnya memuat aturan-aturan yang memungkinkan masyarakat luas dapat berpartisipasi lebih aktif dalam penyelenggaraan pendidikan. Kecuali itu otoritas pengambil keputusan yang selama ini sentralistik telah bergeser menuju otonomi daerah. Namun hasil belum menggembirakan.
Hal mendasar yang menjadi akar permasalahan pendidikan adalah paradigma yang mendasari sistem kita. Sejak kemerdekaan, bangsa Indonesia- sebagaimana bangsa-bangsa lain telah mengambil aliran behavioristik sebagai paradigma sistem pendidikan. Maka sesungguhnya hasil pendidikan nasional yang selama ini kita rasakan adalah buah dari sistem pendidikan yang telah lebih lima dasa warsa berlangsung. Pemikiran-pemikiran kritis mengenai sistem pendidikan tentu bukan pertama-tama untuk mempersalahkan dan menggugat, melainkan demi ditemukannya sistem yang mampu mengakomodasi berbagai aspek yang ada demi terciptanya suatu pendidikan yang lebih menyentuh.
Tulisan ini dibuat untuk menjajagi secara sederhana sejauh mana peluang teori belajar Konstruktivistik dapat menjadi salah satu alternatif membangun proses pendidikan dan pembelajaran yang lebih memadai pada masa sekarang.
Hakikat Pembelajaran Behavioristik dan Konstruktivistik
Belajar, menurut Thorndike, seorang penganut paham behavioristik, merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-sosiasi antara peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respon (R) yang diberikan atas stimulus tersebut. Jadi terjadinya belajar adalah pembentukan asosiasi antara stimulus dan respon (Gasong, http://www.images.dani7bd.multiply.com). Kaum behavioristik meyakini bahwa perilaku merupakan kumpulan reflek yang diakibatkan proses conditioning. Reflek berulang-ulang akan menjadi kebiasaan. Dan perilaku akibat pembiasaan ini disebut belajar. Proses belajar bagi kaum behavioristik berlangsung tanpa mempertimbangkan potensi dan kemauan serta kesadaran peserta didik. Maka model pembelajaran bersifat teacher centered. Tujuan pembelajaran ditentukan oleh institusi dan peserta didik tinggal mengikutinya. Implikasinya: materi pelajaran ditentukan pengajar, pengajar aktif menerangkan dan peserta didik hanya pasif menerima hingga saatnya evaluasi. Bisa dikatakan pengajar menjadi satu-satunya sumber belajar. Motivasi belajar hanya dirangsang dengan nilai. Akibatnya tujuan belajar berbelok hanya sekedar sederetan angka. Banyak anak belajar dengan cara menghafal pelajaran, namun materi yang dihafal tersebut tidak diingat lagi ketima ia berada di kelas berikutnya. BIsa terjadi anak yang disebut berprestasi hanyalah anak yang kuat menghafal, padahal pengetahuan yang didapat dengan cara menghafal tidak mampu bertahan lama. Tidak jarang pula peserta didik dijadikan kebanggaan institusi dengan angka-angka yang tinggi, baik lewat ujian nasional maupun lomba-lomba. Akibatnya segala potensi, kemauan dan waktu peserta didik terserap hanya demi nilai (Wicaksono, http://www.rohadieducation.wordpress.com). Jika ini berlangsung beberapa dekade, bisa dipahami benar kalau produk pendidikan kita masih jauh dari memadai.
Model pembelajaran Konstruktivistik adalah alternatif yang diyakini mampu menjawabi kekurangan paham behavioristik. Tentu harus disadari model ini bukanlah satu-satunya yang baik, ap[alagi terbaik. Secara sederhana, konstruktivistik, yang dipelopori oleh J. Piaget, beranggapan bahwa pengetahuan merupakan konstruksi (bentukan) dari kita yang mengenal sesuatu. Seseorang yang belajar itu berarti membentuk pengertian/pengetahuan secara aktif (tidak hanya menerima dari guru!) dan terus-menerus. Metode trial and error, dialog dan partisipasi peserta didik sangat berarti sebagai suatu proses pembentukan pengetahuan dalam pendidikan (Suparno: 2009). Menurut teori belajar konstruktivistik pengetahuan tidak bisa dipindahkan begitu saja dari guru kepada murid. Artinya, peserta didik harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya (Hamzah, http://akhmadsudrajat.wordpress.com). Yang terpenting dalam teori konstruktivistik adalah bahwa dalam proses pembelajaran, peserta didiklah yang harus mendapatkan penekanan. Mereka harus aktif mengembangkan pengetahuannya, mereka pula yang harus bertanggung jawab atas hasilnya. Belajar diarahkan pada experimental learning, yaitu adaptasi kemanusiaan berdasar pengalaman konkret di laboratorium, diskusi dengan teman sekelas, dan kemudian dijadikan ide dan pengembangan konsep baru. Beberapa hal perlu mendapat perhatian: mengutamakan pembelajaran yang nyata dan relevan, mengutamakan proses, menanamkan pembelajaran dalam konteks pengalaman sosial dan dilakukan dalam upaya mengkonstruksi pengalaman (Pranata, http://puslit.petra.ac.id). Proses internalisasi pengetahuan menjadi lebih mengena dalam fahan konstrktivistik karena peserta didik tidak sekedar mendengar dan menghafal, tetapi mengalami, menemukan, memahami, menyimpulkan dan akhirnya menjadikan miliknya.
Membangun Pembelajaran Bermakna dengan Pola Konstruktivistk
Menurut pandangan konstruktivistik belajar dan pembelajaran memiliki ciri : 1) Tujuan pembelajaran ditekankan pada belajar bagaimana belajar. 2) Pengetahuan adalah non-objective, selalu berubah. Belajar adalah penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkret, aktivitas kolaborative, refleksi serta interpretasi. Si belajar memiliki pemahaman tergantung pengalaman dan perspektif interpretasinya sehingga hasilnya individualistic. 3) Penataan lingkungan belajar: tidak teratur, semrawut, si belajar bebas, kebebasan dipandang sebagai penentu keberhasilan dan control belajar dipegang si belajar. 4) Dalam strategi pembelajaran, lebih diarahkan untuk meladeni pandangan pebelajar. Aktivitas belajar lebih didasarkan pada data primer. Pembelajaran menekankan proses. 5) Evaluasi menekankan pada penyusunan makna, menggali munculnya berpikir dengan pemecahan ganda. Dan evaluasi merupakan bagian utuh dari pembelajaran, dan menekankan pada ketrampilan proses (Gasong, http://www.images.dani7bd.multiply.com).
Harus disadari sepenuhnya, bahwa untuk membangun suatu pembelajaran dengan roh konstruktivistik diperlukan dukungan kondisi setempat, baik SDM guru dan peserta didik, lingkungan, juga institusi yang bertanggung jawab atasnya. Dari sisi pendidik, setidaknya telah memiliki paradigma pemikiran yang terbuka tentang pendidikan. Sebagai contoh, jika dahulu keberhasilan mengajar sering dilihat dari ketertiban lahiriah, kini pendidik justru harus siap dengan suatu kesemrawutan. Peserta didik kini diberi keleluasaan berkembang, namun pendidik harus mampu menjadi fasilitator handal sehingga tidak hanyut dengan arus keinginan peserta didik yang mungkin melenceng. Lingkungan, khususnya masyarakat tentu harus memiliki pemahaman yang sama tentang pola pembelajaran ini. Karena tidak bisa dipungkiri, masih banyak orangtua peseta didik yang memiliki pola tradisional dalam pendidikan dan menjadikannya tolok ukur kualitas sekolah yang dipilih. Pada akhirnya kebijakan-kebijakan berupa produk hukum tentang pendidikan seharusnya mendukung paradigma ini. Sebab tak jarang idealisme proses/model pembelajaran yang telah dimiliki oleh sebagian pendidik, dalam implementasinya sering harus berhadapan dengan kebijakan yang bertolak belakang.
Kesimpulan
Dari beberapa uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa model pembelajaran yang mengacu pada teori belajar konstruktivisme lebih memfokuskan pada keberhasilan peserta didik dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Guru menjadi fasilitator yang membantu peserta didik mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi. Namun tetap harus diperhatikan bahwa model pembelajaran ini harus didukung oleh lingkungan yang tepat. Dibutuhkan guru yang memiliki wawasan pendidikan yang maju, tidak terjebak pada rutinisme dan kebiasaan lama. Tujuan model belajar ini adalah menciptakan insan-insan pebelajar yang selalu terdorong mengembangkan diri melalui belajar. Untuk mendorong munculnya mentalitas demikian, institusi pendidikan harus ikut menciptakan situasi masyarakat pebelajar. Semua elemen didorong menjadi manusia pebelajar. Model konstruktivistik akan mencapai hasil optimal jika diterapkan dalam lingkungan manusia pebelajar.
Referensi
Degeng, I.N.S. 1998. Mencari Paradigma Baru Pemecahan Masalah Belajar. Pidato Pengukuhan Guru Besar IKIP Malang. Malang: IKIP Malang.
Gasong, Dina. Tanpa tahun. Model Pembelajaran Konstruktivistik Sebagai Alternatif Mengatasi Masalah Pembelajaran. dari http://www.images.dani7bd.multiply.com.
Hamzah, 2008. Teori Belajar Konstruktivisme. Retrieve 20 Agustus 2008. Dari http://akhmadsudrajat.wordpress.com
Manik, F. Suseno. 2006. Pendidikan di Indonesia: Masalah dan Solusinya.Retrieved 9 Mei 2006. dari http://www.mii.fmipa.ugm.ac.id.
Pranata, Y. Mulyadi. Konstruktivistik: Arah Baru Pembelajaran Desain. Dari http://www.puslit.petra.ac.id.
Wicaksono, Rohadi. 2007. Mengapa Harus Konstruktivistik. Retirieve 19 Juli 2007. dari http://www.rohadieducation.wordpress.com.
Suparno, Paul. 2008. Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
Langganan:
Postingan (Atom)