Selasa, 01 Desember 2009

Manajemen Berbasis Sekolah dan Profesionalisme Guru

MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH
DAN PROFESIONALISME GURU
Markus Basuki
(No. 09370013/MKPP – Program Pasca Sarjana UMM 2009)

Abstrak : Mutu pendidikan di Indonesia masih rendah. Situasi demikian ini mendorong pemerintah melakukan reorientasi penyelenggaraan pendidikan dari sentralistik menuju desentralistik. Melalui Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah sejak tahun 2000 dikenalkan pola baru pengelolaan pendidikan yaitu Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS). Pola ini dilakukan juga dalam rangka menyukseskan program pemerintah tentang Wajib Belajar 9 tahun. Tahun 2005 muncul Undang-undang Guru dan Dosen yang salah satu tujuannya ingin membangun profesionalisme guru melalui program sertifikasi. Manajemen Berbasis Sekolah (istilah baru MPMBS) adalah pembenahan lembaga pendidikan dan manajemennya yang bercirikan otonomi dan demoktasi. Sedangkan SDM guru, sebagai pelaku sentral pendidikan ditingkatkan kualitasnya melalui program sertifikasi.

Kata kunci: MPMBS/MBS, UUGD, sertifikasi, profesionalisme guru.

Latar Belakang
Kualitas pendidikan di Indonesia amat memprihatinkan. Data UNESCO (2000) membuktikan bahwa peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index) Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998) dan ke-109 (1999). Dan menurut survey Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitan pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Sedang data Balitbang (2003) menunjukkan kenyataan bahwa dari 146.052 Sekolah Dasar di Indonesia ternyata hanya ada delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP). Dari 20.918 SMP di Indonesia hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 SMA hanya tujuh sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (Manik, 2006).
Jika kondisi ini dicari penyebabnya, maka kita dihadapkan pada masalah yang kompleks antara lain: 1) kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional yang menggunakan pendekatan education production function atau input-output analysis yang tidak dilaksanakan secara konsekuen, 2) penyelenggaraan pendidikan nasional yang dilakukan secara birokratik-sentralistik dan 3) peranserta masyarakat sangat minim (Depdiknas, 2001:2). Dari tiga faktor tersebut setidaknya ada dua unsur yang mendesak harus dibangun yaitu manajemen pendidikan dan pembangnan SDM.

Dari MPMBS sampai MBS
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) adalah model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan secara langsung semua warga sekolah untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional. Otonomi yang lebih besar mendorong sekolah semakin mandiri, baik dalam pengembangan program-programnya, juga dalam pengambilan keputusan. Jadi MPMBS memiliki tjuan utama memandirikan atau memberdayakan sekolah dengan pemberian kewenangan (otonomi) kepada sekolah dan mendorong melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif (Depdiknas, 2001: 4). Tujuan MPMBS secara lebih rinci antara lain: meningkatkan mutu pendidikan, meningkatkan kepedulian warga sekolah, meningkatkan tanggungjawab sekolah terhadap orangtua dan meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah.
Sejak tahun 1999 pola MPMBS diujicobakan terhadap 3000 SMP di seluruh Indonesia baik negeri maupun swasta. Berdasarkan laporan-laporan tahunan dan hasil monitoring serta evaluasi selama kurun waktu lima tahun diketahui telah terjadi perbaikan dan peningkatan mutu pendidikan di sekolah. Peningkatan itu meliputi bidang akademik maupun non akademik. Pola MPMBS yang kemudian diubah menjadi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) juga mengakibatkan perbaikan tata pengelolaan pendidikan di tingkat sekolah, baik transparansi, akuntabilitas maupun kemandirian dalam pengembangan program dan pembiayaan (Depdiknas, 2007: 2).
Berdasarkan temuan-temuan tersebut, serta sesuai dengan jiwa Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (2003)maka pola MBS diharapkan diterapkan pada semua SMP yang ada. Bahkan jika memang terbukti efektif meningkatkan kualitas pendidikan, dapat diterapkan kepada semua sekolah pada setiap jenjang. Permasalahannya penilaian kualitas pendidikan tentu tidak sesederhana itu. Penilaian kualitas pendidikan harus dilakukan oleh pihak yang benar-benar independen, bukan oleh mereka yang berkecimpung dalam dunia pendidikan di Indonesia.

Undang-undang Guru dan Dosen dan Program Sertifikasi Guru
Sejak dicanangkannya MBS (tahun 1999) hingga tahun 2004 secara intern telah terjadi peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia, khususnya SMP-SMP yang menjadi pilot project MBS. Namun, penilaian dunia luar, terutama UNESCO, lembaga independen tingkat dunia, tetap menempatkan Indonesia sebagai negara yang tertinggal dalam pendidikan, bahkan tertinggal dari negara-negara Asean sekalipun. Disadari bahwa dunia pendidikan di Indonesia yang perlu pembenahan bukan hanya manajemen lembaga, tetapi juga SDM-nya. Guru adalah sosok sentral dan penting dalam pembaharuan pendidikan. Intinya, untuk meningkatkan kualitas pendidikan, guru harus professional dulu. Tetapi tantangan guru professional selalu dating bersamaan dengan peningkatan kesejahteraan.
Undang-undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) hadir sebagai jawaban untuk mengubah situasi dengan membidik dua sasaran sekaligus: profesionalisme dan kesejahteraan. UUGD hadir tepat waktu, saat dunia pendidikan di Indonesia berada dalam titik nadir. UUGD diluncurkan terutama untuk membenahi carut marut pendidikan dari satu sisinya yaitu guru. Akan tetapi satu hal yang sangat penting, undang-undang tersebut mewajibkan pemerintah segera melaksanakan program sertifikasi bagi pendidik (guru dan dosen). Terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No. 18 tahun 2007 memberi landasan kuat untuk segera dilaksakannya program sertifikasi guru, meski peraturan pemerintah belum terbit.
Sertifikasi bagi guru dalam jabatan adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru dalam jabatan (Pasal 1 Permendiknas No. 18/2007). Sertifikasi yang mensyaratkan guru harus memiliki kualifikasi akademik sarjana (S1) atau diploma empat (D-IV) itu diselenggarakan oelh perguruan tinggi yang ditunjuk, dilaksanakan melalui uji kompetensi (melalui penialian portofolio) serta lewat jalur pendidikan profesi melalui LPTK yang ditunjuk. Jika guru lulus ujian sertifikasi, ia akan menerima sertifikat profesi pendidik dan berhak atas tunjangan profesi.

Profesionalisme Guru
Lepas dari kelemahan-kelemahan yang muncul saat proses sertifikasi yang melibatkan ratusan ribu guru dan puluhan LPTK di seluruh Indonesia, mereka yang lulus dapat disebut sebagai guru professional. Melalui uji kompetensi, sesungguhnya guru diarahkan pada penguasaan kompetensi minimal yang meliputi kompetensi paedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional (Samani, 2006: 15). Kompetensi professional mencakup dimensi: 1) penguasaan materi ajar secara luas dan mendalam, serta 2) menguasai struktur dan metode keilmuannya. Ini artinya guru professional harus selalu berusaha untuk mengembangkan pembelajaran dengan kreatif dan inovatif sehingga proses pembelajaran di kelas sungguh menjadi pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif dan menyenangkan (PAIKEM).
Guru professional adalah guru yang selalu harus meningkatkan kompetensi profesionalnya dengan berusaha menguasai bidang ilmunya dengan baik, menyegarkan penguasaan ilmu dengan mencari referensi terbaru, mengikuti perkembangan sains dan teknologi, mengembangkanbahan ajar dan media pembelajaran. Berkaitan dengan kompetensi paedagogik guru harus berusaha menguasai pola pembelajaran paradigm baru denga metode inovatif. Kecuali itu guru harus mengembangkan kompetensi social dan kepribadian, karena bagaimanapun di tengah masyarakat guru harus tetap mampu menjadi teladan.

Kesimpulan
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) menjadi pola manajemen yang sejalan dengan otonomi pendidikan. Dengan fleksibilitas sekolah yang lebih besar dalam mengelola sumberdayanya, sekolah akan semakin lincah meningkatkan mutu secara optimal. Sekolah adalah pihak yang paling mengetahui situasi kebutuhan dasar, sehimngga dapat mengambil keputusan yang sesuai dengan kebutuhan tersebut. Manajemen sumberdaya yang efektif dan efisien, serta keterlibatan masyarakat dalam proses control mengarah pada akuntabilitas public yang semakin memadai. Namun di balik itu Sumber Daya Manusia (SDM) pengelola pendidikan, khususnya guru mutlak harus dibenahi. Kehadiran UUGD yang mewajibkan dilaksanakannya program sertifikasi guru mendorong profesionalisme guru. Guru professional dengan imbalan yang selayaknya diharapkan mampu pelan tapi pasti mendongkrak kualitan pendidikan di Indonesia.

Daftar Pustaka
Departemen Pendidikan Nasional. 2001. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Buku 1 Konsep dan Pelaksanaan, Jakarta: Dirjen Dikdasmen.
Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Jakarta: Dirjen Dikdasmen.
Depdiknas. 2007. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No 18 tahun 2007 tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan. Jakarta: PT Kloang Klede Putra Timur.
Manik, F. Suseno. 2006. Pendidikan di Indonesia: Masalah dan Solusinya.Retrieved 9 Mei 2006. dari http://www.mii.fmipa.ugm.ac.id.
Samani, Muchlas, dkk. 2006. Mengenal Sertifikasi Guru di Indonesia. Surabaya: SIC dan APPI.
Suyanto, Bagong. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS): Solsi Bagi Upaya Peningkatan Mutu Sekolah, Dalam Gentengkali (Jurnal). Surabaya : Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur.