Kamis, 09 Desember 2010

Pengaruh Perubahan Sosial Pada Pendidikan

PENGARUH PERUBAHAN SOSIAL
PADA PENDIDIKAN
(Markus Basuki)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Pendidikan ada dan hidup di dalam masyarakat, maka keduanya memiliki hubungan ketergantungan yang erat. Pendidikan mengabdi kepada masyarakat dan masyarakat menjadi semakin berkembang dan maju melalui pendidikan. Pendidikan adalah sebuah proses pematangan dan pendewasaan masyarakat. Maka lembaga-lembaga pendidikan harus memahami perannya tidak sekadar menjual jasa tetapi memiliki tugas mendasar memformat Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul.
Masyarakat ternyata tidak statis, tetapi dinamis, bahkan sangat dinamis. Pada masa sekarang ini masyarakat mengalami perubahan sosial yang sangat pesat. Isu postmodernisasi dan globalisasi sebenarnya ingin merangkum pemahaman suatu perubahan yang sangat cepat dan dahsyat. Modernisasi adalah proses perubahan masyarakat dan kebudayaannya dari hal-hal yang bersifat tradisional menuju modern. Globalisasi pada hakikatnya merupakan suatu kondisi meluasnya budaya yang seragam bagi seluruh masyarakat di dunia. Globaliasi muncul sebagai akibat adanya arus informasi dan komunikasi yang begitu cepat. Sebagai akibatnya, masyarakat dunia menjadi satu lingkungan yang seolah-olah saling berdekatan dan menjadi satu sistem pergaulan dan budaya yang sama.
Perubahan, kata Senge (1990) dalam Maliki (2010:276) merupakan sesuatu yang tidak bisa dielakkan, karena ia melekat, built in dalam proses pengembangan masyarakat. Kebutuhan untuk bisa survive dalam ketidakpastian dan perubahan menjadi tuntutan masa kini. Perubahan terjadi begitu cepat dan luas, termasuk mengubah dasar-dasar asumsi dan paradigma memandang perubahan.
Perubahan yang terjadi di masyarakat tentunya sangat berpengaruh pada dunia pendidikan. Masalah-masalah sosial yang muncul di tengah masyarakat juga dialami dunia pendidikan. Sosiologi pendidikan memainkan perannya untuk ikut memformat pendidikan yang mampu berkiprah secara kontekstual. Sistem, muatan, proses dan arah pendidikan perlu ditata ulang dan diatur secara khusus sehingga mampu menjawab sekaligus bermain di arena perubahan sosial tersebut.

1.2. Rumusan Masalah
Makalah ini dibuat untuk mengkritisi perubahan-perubahan sosial dan dampaknya bagi dunia pendidikan. Maka masalah dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah yang dimaksud dengan Perubahan Sosial?
2. Bagaimana Eksistensi Pendidikan khususnya di Indonesia?
3. Bagaimana pengaruh perubahan sosial pada pendidikan, khususnya di Indonesia?


BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Perubahan Sosial
Perubahan sosial adalah proses yang meliputi bentuk keseluruhan aspek kehidupan masyarakat. Menurut pengamatan, perubahan sosial telah menjadi titik kajian beragam ilmu yang sifatnya lintas disiplin. Perubahan sosial adalah masalah teori-teori sosial yang dipakai untuk menerangi fenomena perubahan sosial secara sepihak. Dalam banyak hal, ternyata teori, substansi dan metodologi tidak bisa terpisah menjadi suatu sistem berpikir untuk memahami fenomena perubahan sosial yang lengkap.
Perubahan sosial menggambarkan suatu proses perkembangan masyarakat. Pada satu sisi perubahan sosial memberikan suatu ciri perkembangan atau kemajuan (progress) tetapi pada sisi yang lain dapat pula berbentuk suatu kemunduran (regress). Perubahan sosial dapat terjadi oleh karena suatu sebab yang bersifat alamiah dan suatu sebab yang direncanakan. Perubahan sosial yang bersifat alamiah adalah suatu perubahan yang bersumber dari dalam masyarakat itu sendiri. Sedangkan perubahan sosial yang direncanakan adalah perubahan yang terjadi karena adanya suatu program yang direncanakan, seringkali berbentuk intervensi, yang bersumber baik dari dalam ataupun dari luar suatu masyarakat. Perubahan yang direncanakan yang datang dari dalam masyarakat yang bersangkutan, seringkali merupakan program perubahan yang dibuat oleh sekelompok anggota masyarakat tertentu, biasanya para elite masyarakat, yang ditujukan bagi kelompok-kelompok masyarakat lainnya.
Gejala perubahan sosial yang masih relevan dalam tatanan kehidupan masa kini adalah gejala modernisasi yang dicanangkan dunia Barat untuk memperbaiki perekonomian masyarakat di negara-negara Dunia Ketiga. Dampak modernisasi sangat luas, baik yang dianggap positif maupun negatif oleh kalangan masyarakat di negara-negara Dunia Ketiga, baik yang berkaitan dangan masalah ekonomi, sosial, politik, budaya dan ilmu pengetahuan. Modernisasi sebagai fenomena perubahan mendapat respon yang beragam, bahkan dikritisi sebagai westernisasi. Bagaimanapun sebuah masyarakat bukanlah 'bejana' kosong yang begitu saja menerima hal-hal yang berasal dari luar, tetapi ia memiliki mekanisme tertentu melalui norma-norma dan nilai-nilai tradisi (budaya) dalam menangani dan menanggapi perubahan yang terjadi.
Dalam kaitannya dengan hal ini adalah peran para agen perubahan (pemerintah dan lembaga-lembaga masyarakat) yang mampu mengantisipasi berbagai perkembangan masyarakat sehingga mampu mengarahkan masyarakat untuk berubah ke arah yang lebih baik.

2.2. Aspek-aspek Perubahan Sosial
Dalam ilmu sosiologi dibedakan antara sosiologi makro dan sosiologi mikro. Sosiologi makro adalah ilmu sosiologi yang mempelajari pola-pola sosial bersekala besar terutama dalam pengertian komparatif dan historis, misalnya antara masyarakat tertentu, atau antara bangsa tertentu. Sosiologi mikro lebih memberikan perhatian pada perilaku sosial dalam kelompok dan latar sosial masyarakat tertentu (Salim, 2002: 11). Berangkat dari pengertian tersebut agak sulit menempatkan studi perubahan sosial, apakah dalam posisi sosiologi makro atau mikro. Akan tetapi, mempertimbangkan beberapa hal, seperti akan dijelaskan kemudian, studi perubahan sosial berwajah ganda, baik sosiologi makro maupun mikro.
Namun demikian, merumuskan suatu konsep atau definisi yang dapat diterima berbagai pihak merupakan pekerjaan yang sulit dan bisa jadi tidak bermanfaat. Itulah sebabnya, dalam kajian ini teori perubahan sosial yang dikedepankan tidak berpretensi untuk memuaskan sejumlah tuntutan. Dalam kajian ini yang dimaksud dengan satu pengertian perubahan sosial adalah terjadinya perubahan dari satu kondisi tertentu ke kondisi yang lain dengan melihatnya sebagai gejala yang disebabkan oleh berbagai faktor. Hal itu terjadi lebih sebagai dinamika “bolak-balik” antara hakikat dan kemampuan manusia sebagai makhluk yang hidup dan memiliki kemampuan tertentu (faktor internal) berdialektika dengan lingkungan alam (fisik), sosial, dan budayanya (faktor eksternal).
Persoalan yang dibicarakan oleh teori perubahan sosial antara lain sebagai berikut. Pertama, bagaimana kecepatan suatu perubahan terjadi, ke mana arah dan bentuk perubahan, serta bagaimana hambatan-hambatannya. Dalam kasus masyarakat Indonesia, hal ini dapat dilakukan dengan melihat sejarah perkembangan sosialnya. Seperti diketahui, Indonesia mengalami proses percepatan pembangunan, atau modernisasi awal terutama setelah tahun 1900-an, yakni ketika Belanda memperkenalkan kebijakan politik etis. Akan tetapi, seperti akan dijelaskan kemudian, percepatan perubahan di Indonesia terutama terjadi setelah tahun 1980-an. Hal itu berkaitan dengan pengaruh timbal balik perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta beberapa kemudahan yang disebabkan faktor tersebut.
Kedua, faktor apa yang berpengaruh terhadap perubahan sosial. Dalam hal ini terdapat enam faktor yang berpengaruh terhadap perubahan sosial; (1) penyebaraan informasi, meliputi pengaruh dan mekanisme media dalam menyampaikan pesan-pesan ataupun gagasan (pemikiran); (2) modal, antara lain SDM ataupun modal finansial; (3) teknologi, suatu unsur dan sekaligus faktor yang cepat berubah sesusai dengan perkembangan ilmu pengetahuan; (4) ideologi atau agama, bagaimana agama atau ideologi tertentu berpengaruh terhadap porses perubahan sosial; (5) birokrasi, terutama berkaitan dengan berbagai kebijakan pemerintahan tertentu dalam membangun kekuasaannya; (6) agen atau aktor. Hal ini secara umum termasuk dalam modal SDM, tetapi secara spesifik yang dimaksudkan adalah inisiatif-inisiatif individual dalam “mencari” kehidupan yang lebih baik.
Ketiga, dari mana perubahan terjadi, dari negara, atau dari pasar bebas (kekuatan luar negeri), atau justru dari dalam diri masyarakat itu sendiri. Keempat, hal-hal apa saja yang berubah dan bagaimana perubahan itu terjadi. Seperti diketahui, perubahan dapat sesuatu yang berbentuk fisik (tampak/material), misalnya terjadinya pembangunan dalam pengertian fisik, tetapi ada pula hal-hal yang tidak tampak (nonmaterial), seperti pemikiran, kesadaran, dan sebagainya. Kelima, hal-hal atau wacana-wacana apa saja yang dominan dalam proses perubahan sosial tersebut? Misalnya, untuk kasus Indonesia di antara enam faktor perubahan seperti disinggung di atas, mana di antaranya yang dominan, dan mengapa hal tersebut terjadi.
Keenam, bagaimana membedakan konteks-konteks perubahan dalam setiap masyarakat dan bagaimana proses sosial tersebut berlangsung. Dalam masalah ini, pertama, ada yang disebut proses reproduksi, yakni proses pengulangan-pengulangan dalam ruang dan waktu yang berbeda seperti halnya warisan sosial dan budaya dari masyarakat sebelumnya. Kedua, apa yang disebut sebagai proses transformasi, yakni suatu proses perubahan bentuk atau penciptaan yang baru, atau yang berbeda dari sebelumnya.
2.3. Perubahan Sosial Budaya
Perubahan sosial budaya adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat. Perubahan sosial budaya merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan. Hirschman mengatakan bahwa kebosanan manusia sebenarnya merupakan penyebab dari perubahan (Widodo:2008). Perubahan sosial budaya terjadi karena beberapa faktor. Di antaranya komunikasi; cara dan pola pikir masyarakat; faktor internal lain seperti perubahan jumlah penduduk, penemuan baru, terjadinya konflik atau revolusi; dan faktor eksternal seperti bencana alam dan perubahan iklim, peperangan, dan pengaruh kebudayaan masyarakat lain.
Perkembangan masyarakat seringkali juga dianalogikan seperti halnya proses evolusi. suatu proses perubahan yang berlangsung sangat lambat. Pemikiran ini sangat dipengaruhi oleh hasil-hasil penemuan ilmu biologi, yang memang telah berkembang dengan pesatnya. Peletak dasar pemikiran perubahan sosial sebagai suatu bentuk “evolusi” antara lain Herbert Spencer dan Augus Comte. Keduanya memiliki pandangan tentang perubahan yang terjadi pada suatu masyarakat dalam bentuk perkembangan yang linear menuju ke arah yang positif. Perubahan sosial menurut pandangan mereka berjalan lambat namun menuju suatu bentuk “kesempurnaan” masyarakat.
Berbeda dengan Spencer dan Comte yang menggunakan konsepsi optimisme, Oswald Spengler cenderung ke arah pesimisme. Menurut Spengler, kehidupan manusia pada dasarnya merupakan suatu rangkaian yang tidak pernah berakhir dengan pasang surut. seperti halnya kehidupan organisme yang mempunyai suatu siklus mulai dari kelahiran, masa anak-anak, dewasa, masa tua dan kematian. Perkembangan pada masyarakat merupakan siklus yang terus akan berulang dan tidak berarti kumulatif.
2.4. Bentuk-bentuk Perubahan Sosial
Ke mana arah perubahan sosial di Indonesia, hingga hari ini tampaknya belum dapat dibaca dengan cukup cermat. Proses tawar-menawar masih sedang terjadi, dan semua hal masih sangat mungkin terjadi. Akan tetapi, yang pasti, hingga kini masyarakat Indonesia masih sedang gelisah, marah, sedih, dan prihatin. Demokrasi masih diperjuangkan terus-menerus, dan tidak tahu demokrasi seperti apa yang akan terjadi, penegakan hukum masih simpang siur, dan secara relatif masyarakat hidup tanpa kepastian (Salam: 2007).
Secara garis besar bentuk-bentuk perubahan sosial budaya dapat dipilah menjadi dua: Pertama perubahan yang berlangsung cepat dan menyangkut dasar atau pokok-pokok kehidupan masyarakat yang disebut revolusi. Di dalam revolusi, perubahan yang terjadi dapat direncanakan atau tanpa direncanakan terlebih dahulu dan dapat dijalankan tanpa kekerasan atau melalui kekerasan. Ukuran kecepatan suatu perubahan sebenarnya relatif karena revolusi pun dapat memakan waktu lama. Misalnya revolusi industri di Inggris yang memakan waktu puluhan tahun, namun dianggap 'cepat' karena mampu mengubah sendi-sendi pokok kehidupan masyarakat —seperti sistem kekeluargaan dan hubungan antara buruh dan majikan— yang telah berlangsung selama ratusan tahun. Revolusi menghendaki suatu upaya untuk merobohkan, menjebol, dan membangun dari sistem lama kepada suatu sistem yang sama sekali baru. Revolusi senantiasa berkaitan dengan dialektika, logika, romantika, menjebol dan membangun.
Kedua, perubahan yang berlangsung dalam jangka waktu tertentu (lambat) yang disebut evolusi. Dalam konteks biologi modern, evolusi berarti perubahan sifat-sifat yang diwariskan dalam suatu populasi organisme dari satu generasi ke generasi berikutnya. Sifat-sifat yang menjadi dasar dari evolusi ini dibawa oleh gen yang diwariskan pada keturunan suatu makhluk hidup. Sifat baru dapat diperoleh dari perubahan gen oleh mutasi, transfer gen antar populasi, seperti dalam migrasi, atau antar spesies seperti yang terjadi pada bakteria, serta kombinasi gen mealui reproduksi seksual. Meskipun teori evolusi selalu diasosiasikan dengan Charles Darwin, namun sebenarnya biologi evolusi telah berakar sejak jaman Aristoteles. Namun demikian, Darwin adalah ilmuwan pertama yang mencetuskan teori evolusi yang telah banyak terbukti mapan menghadapi pengujian ilmiah. Sampai saat ini, teori Darwin tentang evolusi yang terjadi karena seleksi alam dianggap oleh mayoritas masyarakat sains sebagai teori terbaik dalam menjelaskan peristiwa evolusi.
Perubahan sosial mencakup aspek-aspek yang kompleks, mulai dari politik, ekonomi, kebudayaan, hukum, keamanan dan sebagainya. Perubahan yang terjadi, baik secara cepat maupun lambat akan memberikan dampak bagi masyarakatnya, juga pendidikan. Perubahan yang berlangsung cepat (revolusi) memang pada umumnya lebih berpeluang mengagetkan masyarakat sehingga tidak siap menghadapi perubahan itu.

2.5. Eksistensi Pendidikan
Pendidikan merupakan investasi besar bagi suatu negara. Pendidikan menyangkut kepentingan semua warga negara, masyarakat, negara, institusi-institusi dan berbagai kepentingan lain. Ini disebabkan pendidikan berkaitan erat dengan outcomenya berupa tersedianya SDM yang handal untuk menyuplai berbagai kepentingan. Oleh sebab itu titik berat pembangunan pendidikan terletak pada peningkatan mutu setiap jenis dan jenjang, serta perluasan kesempatan belajar pada pendidikan dasar. Pendidikan memegang kunci keberhasilan suatu negara di masa depan. Namun kenyataan membuktikan, khususnya di Indonesia, pendidikan masih belum dipandang vital, khususnya oleh para pemegang tampuk kepemimpinan negara.
Menurut Tilaar (2004), pendidikaan saat ini telah direduksikan sebagai pembentukan intelektual semata sehingga menyebabkan terjadinya kedangkalan budaya dan hilangnya identitas lokal dan nasional. Perubahan global dan liberalisasi pendidikan memaksa lembaga-lembaga pendidikan menghasilkan lulusan yang sesuai dengan kebutuhan pasar. Pendidikan yang hanya berorientasi pasar sesungguhnya telah kehilangan akar pada kesejatian dan identitas diri. Gejala-gejala pendangkalan ini sekarang mudah dibaca.
Misi pendidikan adalah mewariskan ilmu dari generasi ke generasi selanjutnya. Ilmu yang dimaksud antara lain pengetahuan, tradisi dan nilai-nilai budaya (keberadaban). Secara umum penularan ilmu tersebut telah diemban oleh orang-orang yang concern terhadap enerasi selanjutnya. Mereka diwakili oleh orang yang punya visi kedepan, yaitu menjadikan generasi yang lebih baik dan beradab. Apabila berbicara pendidikan berskala nasional maka secara umum konsep pendidikan nasional di Indonesia tak lagi memperlihatkan keberpihakan terhadap dunia pendidikan di berbagai daerah. Salah satu contoh yaitu kontroversial mengenai Ujian Nasional yang memperlihatkan betapa sentralistiknya pendidikan saat ini. Pusat terkesan memaksa seleranya terhadap anak didik di daerah.
Salah seorang pakar pendidikan di Indonesia, Dr Anita Lie dalam presentasi mengenai Renstra Biro Pendidikan LPMAK yang berlangsung di Sheraton Hotel Timika belum lama ini mengakui ada ketidakberesan dalam konsep pendidikan nasional. Anita bahkan merujuk pada materi Ujian Nasional yang cenderung membebani masyarakat pendidikan di daerah-daerah.
Tak saja Anita Lie, Gubernur Provinsi Papua, Barnabas Suebu pun menilai konsep pendidikan nasional saat ini tak lagi relevan untuk diterapkan di daerah termasuk di Papua. Barnabas Suebu malah menyentil konsep pendidikan nasional ibarat pakaian jadi (pakaian konveksi). “Pakaian tersebut diukur dan dijahit di Jakarta kemudian dikirim ke daerah. Masyarakat di Papua yang butuh pakaian langsung mengenakan saja tanpa melihat ukuran. Orang di Jakarta pun tidak tahu tentang postur orang Papua, mereka hanya asal jahit berdasarkan seleranya,” begitu kata Barnabas mengibaratkan konsep pendidikan nasional saat ini

2.6. Pengaruh perubahan sosial pada Pendidikan
Carut-marut situasi pendidikan di Indonesia memang tidak lepas dari pengaruh perubahan sosial. Dan setiap berbicara mengenai pendidikan, orang selalu berkonotasi sekolah formal. Meski tidak semuanya salah namun konsep ini menisbikan peran pendidikan informal dan non formal, padahal keduanya sama pentingnya. Dengan demikian keterpurukan pendidikan tidak boleh didefinisikan sebagai kegagalan pendidikan formal semata. Kebobrokan sistem dan perilaku sejumlah pemuka masyarakat dan negara, dengan demikian bukan dosa sekolah semata.
Oleh sebab itu sekolah juga mendapat tempat yang istimewa dalam pemikiran tiap orang dalam usahanya meraih tangga sosial yang lebih tinggi. Sedemikian istimewanya hingga sekolah telah menjadi salah satu ritus yang harus dijalani orang-orang muda yang hendak mengubah kedudukannya dalam susunan masyarakat. Mudah diduga bahwa jalan pikiran seperti itu secara logis mengikuti satu kanal yang menampung imajinasi mayoritas mengalir menuju sebuah muara, yakni credo tentang sekolah sebagai kawah condrodimuko tempat agen-agen perubahan dicetak.
Perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat menyangkut nilai-nilai sosial, pola-pola perilaku, organisasi, lembaga kemasyarakatan, lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang, yang terjadi secara cepat atau lambat memiliki pengaruh mendasar bagi pendidikan. Perubahan sosial tak lagi digerakkan hanya oleh sejenis borjuis di Eropa abad 17 – 18 melawan kaum feodal, atau oleh kelas buruh yang ingin mengakhiri semacam masyarakat borjuis di abad 19 untuk kemudian menciptakan masyarakat nir kelas, atau oleh para petani kecil yang mencita-citakan suatu land-reform. Juga lebih tak mungkin lagi keyakinan bahwa perubahan hanya dimotori oleh kaum profesional yang merasa diri bebas dan kritis. Masyarakat sipil terdiri dari aneka kekuatan dan gerakan yang membawa dampak perubahan di sana sini.
Esensi dari sekolah adalah pendidikan dan pokok perkara dalam pendidikan adalah belajar. Oleh sebab itu tujuan sekolah terutama adalah menjadikan setiap murid di dalamnya lulus sebagai orang dengan karakter yang siap untuk terus belajar, bukan tenaga-tenaga yang siap pakai untuk kepentingan industri. Dalam arus globalisasi dewasa ini perubahan-perubahan berlangsung dalam tempo yang akan makin sulit diperkirakan. Cakupan perubahan yang ditimbulkan juga akan makin sulit diukur. Pengaruhnya pada setiap individu juga makin mendalam dan tak akan pernah dapat diduga dengan akurat.
Ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang sedemikian pesat. Ekonomi mengalami pasang dan surut berganti-ganti sulit diprediksi. Konstelasi kekuatan-kekuatan politik juga berubah-ubah. Kita tak lagi hidup dengan anggapan lama tentang dunia yang teratur harmonis. Sebaliknya setiap individu sekarang menghadapi suatu keadaan yang cenderung tak teratur. Kecenderungan chaos seperti ini harus dihadapi dan hanya dapat dihadapi oleh orang-orang yang selalu siap untuk belajar hal-hal baru. Bukanlah mereka yang bermental siap pakai yang akan dapat memanfaatkan dan berhasil ikut mengarahkan perubahan-perubahan kontemporer melainkan mereka yang pikirannya terbuka dan antusias pada hal-hal baru.
Keadaan tersebut akan berpengaruh besar pada pendidikan. Oleh sebab itu sekolah, di tingkat manapun, yang tetap menjalankan pendidikan dengan orientasi siap pakai untuk para pelajarnya tidak boleh rusak akibat perubahan tetapi sebaliknya harus mampu menjadi pengemban misi sebagai agent of changes tetapi sekedar consumers of changes. Dari sekolah dengan pandangan siap pakai tidak akan dihasilkan orang-orang muda yang dengan kecerdasannya berhasil memperbaiki kedudukannya dalam susunan sosial output dari sekolah semacam itu hanya dua. Pertama, orang-orang muda yang terlahir berada dan akan terus menduduki strata sosial tinggi, Kedua, para pemuda tak berpunya yang akan tetap menelan kecewa karena ternyata mereka makin sulit naik ke tangga sosial yang lebih tinggi dari orang tua mereka. Sekolah yang tetap kukuh dengan prinsip-prinsip pedagogis, metode-metode pendidikan dan teknik-teknik pengajaran yang bersemangat siap pakai hanya akan menjadi lembaga reproduksi sosial bukan lembaga perubahan sosial. Indonesia perlu sekolah baru!




BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Perubahan sosial adalah perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat. Hal-hal yang berkaitan dengan perubahan sosial: Nilai-nilai sosial, Pola-pola perilaku, Organisasi, Lembaga kemasyarakatan, Lapisan dalam masyarakat, Kekuasaan dan wewenang. Faktor Penyebab Perubahan Sosial: Laju penduduk , Penemuan-penemuan baru, Pertentangan, Pemberontakan / revolusi. Bentuk-bentuk perubahan sosial: Lambat & Cepat, Kecil & Besar, Intended Change (perubahan yang di kehendaki) dan Uninted Change (perubahan yang tidak di kehendaki).
Pendidikan adalah serangkaian kegiatan komunikasi antara manusia dewasa dengan si anak didik secara tatap muka atau dengan menggunakan media dalam rangka memberikan bantuan terhadap perkembangan anak seutuhnya. Pendidikan memiliki peran strategis dan vital bagi kelangsungan suatu bangsa. Oleh perubahan yang gencar terjadi, pendidikan bisa menjadi korban. Pendidikan yang kehilangan pijakan akan terbang mengikuti arah angin perubahan yang sedang terjadi. Maka perubahan sosial yang terjadi baik itu mengangkut nilai-nilai sosial, pola-pola perilaku, organisasi, lembaga kemasyarakatan, lapisan dalam masyarakat, maupun berkaitan dengan kekuasaan dan wewenang (politik), harus dihadapi dengan perubahan dalam dunia pendidikan. Pendidikan justru harus mampu menjadi agen perubahan, bukan menjadi korban perubahan.

3.2. Saran dan Solusi
Dunia pendidikan harus memposisikan diri sebagai agen perubahan (agent of changes). Pemahaman monokultur harus diarahkan pada multikultur (bdk. Maliki, 2010:252). Harus disadari bahwa kehidupan itu majemuk dan semakin majemuk, namun paradigma pendidikan belum berubah ke arah itu. Pendidikan di Indonesia masih mengacu pada budaya, kehendak, keinginan tunggal. Kedua, pendidikan harus memposisikan diri sebagai pelaku transformasi besar-besaran. Pendidikan yang hanya diperuntukkan mencerdaskan otak harus ditransformasikan ke dalam perspektif yang holistik yakni mencerdaskan perilaku secara keseluruhan. Ketiga, pendidikan harus mampu mengkonstruk identitas budaya bagi manusianya. Budaya kita adalah budaya plural.
Pendidikan multikultural akan efektif jika dalam tatakelola pendidikan tidak hanya berorientasi out put, melainkan juga memperhatikan out come. Dengan melihat out come berarti melihat kompetensi lulusan di tengah kehidupan masyarakatnya, baik kompetensi kognitif, afektif maupun psikomotor. Guna mencapai outcome yang nyata dan bermanfaat bagi masyarakat, pendidikan multikultural harus ditransformasikan melalui pendekatan praksis. Pendidikan tidak hanya dikemas dalam tatanan wacana dan diskursus melainkan memasuki kehidupn nyata. Untuk itu penerapan model service learning antara peserta didik, guru dan warga sekolah perlu digalakkan. Dengan service learning peserta didik secara nyata membangun kehidupan yang damai, terbuka menghadapi keanekaragaman, toleransi dan demokratis.


Daftar Rujukan :
Koento, Wibisono. 1983. Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Augus Comte. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press
Maliki, Zainuddin. 2010. Sosiologi Pendidikan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Salam, Aprinus. 2007. Perubahan Sosial dan Pertanyaan tentang Kearifan Lokal. Sumber : Jurnal Ibda` | Vol. 5 | No. 2 | Jul-Des 2007 | 257-275 2 P3M STAIN Purwokerto dari: www.ibdajurnal.googlepages.com. diakses tgl. 25 November 2010

Salim, Agus.2002. Perubahan Sosial Sketsa Teori dan Refleksi Metodologi Kasus Indonesia.Yogyakarta: Tiara Wacana.
Widodo, Slamet. 2008. Perspektif Teori tentang Perubahan Sosial; Struktural Fungsional dan Psikologi Sosial. Dari http//www.slametwidodo.com. diakses tgl. 26 November 2010.
Widodo, Slamet. 2008, Perubahan Sosial. Dari http://learning-of.slametwidodo.com. diakses tgl. 26 November 2010.

Selasa, 30 November 2010

Pembiayaan Pendidikan Sekolah Swasta

SEKOLAH SWASTA DAN INOVASI PENGGALIAN DANA PENDIDIKAN
(Studi Kasus Pada Sekolah-Sekolah Mardi Wiyata)
Oleh : Markus Basuki (09370013)


PENDAHULUAN


Latar Belakang Masalah
Dukungan Negara dalam membangun pendidikan di Indonesia masih belum maksimal. Sudah ada upaya, namun belum signifikan tampak, lebih-lebih dalam bidang pembiayaan. Pembiayaan pendidikan yang dimaksud di sini meliputi sekolah-sekolah milik pemerintah (negeri) tetapi juga sekolah-sekolah yang diselenggarakan oleh masyarakat (swasta). Meski dikotomi sekolah negeri swasta sebenarnya tidak perlu diungkit-ungkit tetapi kenyataannya, sekolah swasta di seluruh tanah air yang jumlahnya sangat banyak menjadi pihak yang sangat direpotkan dengan berbagai kebijakan pemerintah.
Semua pihak mengharapkan adanya pendidikan yang berkualitas, namun di sisi lain banyak pihak yang merasa keberatan untuk mengeluarkan dana sebagai sumber pembiayaan pendidikan. Masyarakat berdalih, pendidikan adalah tanggungan Negara. Dan pendapat tersebut tidak salah. Kualitas pendidikan, sebagaimana Negara dan masyarakat harapkan sangat ditentukan oleh tingkat pembiayan yang dilakukan. Guna menghasilkan pendidikan yang berkualitas tinggi diperlukan pembiayaan secara optimal. Celakanya, sebagaian masyarakat tidak mau tahu status sekolah itu negeri ataukah swasta yang memiliki keterbatasan dalam kemampuan pembiayaan.
Pembiayaan pendidikan menjadi masalah yang sangat penting dalam keseluruhan pembangunan sistem pendidikan. Uang memang tidak segala-galanya dalam menentukan kualitas pendidikan, tetapi segala kegiatan pendidikan memerlukan uang. Oleh karena itu jika performance sistem pendidikan diperbaiki, manajemen penganggarannya juga tidak mungkin dibiarkan, mengingat bahwa anggaran mesti mendukung kegiatan. Tidak semua masyarakat Indonesia sepenuhnya menyadari bahwa biaya pendidikan yang cukup akan dapat mengatasi berbagai masalah pendidikan, meskipun tidak semua masalah akan dapat dipecahkan secara tuntas (Sutjipto, 2004 dalam Sudarmanto: 2010).
Biaya pendidikan merupakan salah satu komponen masukan instrumental yang sangat penting dalam penyelenggaraan pendidikan (di sekolah). Dalam setiap upaya pencapaian tujuan pendidikan—baik tujuan-tujuan yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif—biaya pendidikan memiliki peranan yang sangat menentukan. Lebih lanjut dinyatakan bahwa hampir tidak ada upaya pendidikan yang dapat mengabaikan peranan biaya, sehingga dapat dikatakan bahwa tanpa biaya, proses pendidikan (di sekolah) tidak akan berjalan (Supriadi, 2006:3 dalam Sudarmanto: 2010).
Di era globalisasi ini pembiayaan pendidikan, khususnya bagi lembaga swasta harus menjadi perhatian serius demi upaya mengembangkan kualitas pendidikan. Diperlukan inovasi-inovasi khusus dalam penggalangan dan penggalian dana demi kelangsungan dan perkembangan lembaga swasta, yang merupakan bagian tak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional.

Rumusan Masalah
Berdasar uraian di atas dapat dirumuskan masalah pembiayaan pendidikan di sekolah swasta sebagai berikut :
1. Apa pentingnya pembiayaan pendidikan dalam keseluruhan program peningkatan kualitas pendidikan, khususnya di Indonesia?
2. Bagaimana implementasi pembiayaan pendidikan di sekolah swasta?
3. Apa peran Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dalam upaya menggali sumber dana?

Tujuan dan Manfaat
Makalah ini disusun untuk mengkaji secara sedikit mendalam sekitar permasalahan pembiayaan pendidikan terutama dikaitkan dengan keberadaan sekolah swasta. Dengan pembahasan tersebut diharapkan diperoleh suatu persamaan konsep dasar mengenai pembiayaan pendidikan. Diperolehnya gambaran yang lebih jelas mengenai karakteristik pembiayaan pendidikan pada sekolah swasta diharapkan mampu memberi masukan bagi perbaikan kinerja sekolah swasta terutama dalam pembiayaan pendidikan.
Dengan membahas pembiayaan pendidikan di swasta diharapkan menambah wawasan pembiayaan pendidikan, khususnya bagi para penentu kebijakan baik pada tingkat lembaga (sekolah) maupun tingkat makro. Manfaat lain yang bisa diambil ialah diperoleh perimbangan opini public mengenai keberadaan sekolah swasta, khususnya menyangkut kelangsungan hidup sekolah swasta. Kecuali itu diharapkan berimplikasi pada kebijakan yang lebih adil serta memihak kebenaran.

KAJIAN PUSTAKA

Kebijakan selalu dikaitkan dengan publik (Wikipedia bahasa Indonesia). Kebijakan Publik (Inggris: Public Policy) adalah keputusan-keputusan yang mengikat bagi orang banyak pada tataran strategis atau bersifat garis besar yang dibuat oleh pemegang otoritas publik. Sebagai keputusan yang mengikat publik maka kebijakan publik haruslah dibuat oleh otoritas politik, yakni mereka yang menerima mandat dari publik atau orang banyak, umumnya melalui suatu proses pemilihan untuk bertindak atas nama rakyat banyak. Selanjutnya, kebijakan publik akan dilaksanakan oleh administrasi negara yang di jalankan oleh birokrasi pemerintah. Fokus utama kebijakan publik dalam negara modern adalah pelayanan publik, yang merupakan segala sesuatu yang bisa dilakukan oleh negara untuk mempertahankan atau meningkatkan kualitas kehidupan orang banyak. Kebijakan pembiayaan pendidikan adalah salah satu keputusan otoritas public dalam rangka melaksanakan amanat undang-undang. Kebijakan pembiayaan pendidikan yang dikeluarkan pemerintah sangat besar implikasinya bagi lembaga-lembaga swasta, misalnya kebijakan sekolah gratis dan BOS.
Pembiayaan pendidikan telah diatur dalam UUD Negara Republik Indonesia 1945 (Amandemen IV) yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan; setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya; pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang; negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional; pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional lebih lanjut telah mengatur beberapa pasal yang menjelaskan pendanaan pendidikan yaitu pada Pasal 11 Ayat 2 Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai lima belas tahun. Lebih lanjut pada Pasal 12, Ayat (1) disebutkan bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi yang orangtuanya tidak mampu membiayai pendidikannya dan mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orangtuanya tidak mampu membiayai pendidikannya. Di samping itu disebutkan pula bahwa setiap peserta didik berkewajiban ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi peserta didik yang dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam UU Sisdiknas Bab VIII tentang Wajib Belajar, Pasal 34 dinyatakan bahwa setiap warga negara yang berusia 6 (enam) tahun dapat mengikuti program wajib belajar; Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat. Ketentuan mengenai wajib belajar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan PP. Pendanaan Pendidikan menjadi tanggungjawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat. Sumber pendanaan pendidikan ditentukan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan. Pengelolaan dana pendidikan dilakukan berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik.
Dalam tataran aplikasi, pembiayaan pendidikan dibedakan antara lembaga-lembaga milik Negara (sekolah-sekolah negeri) dan lembaga masyarakat (sekolah-sekolah swasta). Pembiayaan pendidikan antara kedua jenis lembaga itu memiliki karakteristik yang berbeda. Sekolah negeri adalah sekolah milik Negara yang pembiayaannya menjadi tanggung jawab Negara sepenuhnya. Oleh sebab itu akuntabilitas dari kedua jenis lembaga pendidikan tersebut berbeda nuansanya.
Sekolah-sekolah swasta yang sering disebut-sebut sebagai mitra pemerintah dalam pendidikan acapkali mengalami kesulitan serius menyikapi kebijakan pemerintah. Kebijakan BOS yang dibarengi dengan embel-embel dalam rangka mencapai sekolah gratis sungguh merisaukan penyelenggara pendidikan swasta, khususnya yang memiliki keterbatasan daya saing.


IMPLIKASI DAN PEMBAHASAN

Pentingnya pembiayaan pendidikan dalam keseluruhan program peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia

Pembiayaan pendidikan merupakan komponen yang sangat penting dalam penyelenggaraan pendidikan. Pembiayaan pendidikan yang bersifat makro maupun mikro haruslah tepat dan adil dan mengarah pada tujuan pendidikan nasional. Anatomi pembiayaan baik makro maupun mikro harus dipahami secara benar sehingga para pengambil keputusan sungguh dapat menghasilkan kebijakan yang tepatguna. Diperlukan suatu penelitian atau studi yang mendalam khususnya saat menentukan kebijakan pembiayaan pendidikan yang bersifat mikro, yaitu pada tataran lembaga/sekolah. Pada umumnya penelitian lebih terfokus pada pembiayaan pendidikan dalam skala makro (Supriadi, 2010: iv). Disadari sepenuhnya bahwa berdasar studi pada sekolah-sekolah negeri pada tahun 2002 ditemukan suatu fakta: tingginya peranan keluarga dalam pembiayaan pendidikan. Bahkan kalau dihitung dan dibandingkan dengan subsidi pemerintah, biaya pendidikan dari orangtua lebih banyak jumlahnya (Supriadi, 2010: v). Kenyataan ini tentu ikut mempengaruhi kebijakan pembiayaan pendidikan pada tahun-tahun berikutnya.
Konsep biaya pendidikan ini dapat dibedakan dengan cara mengelompokkan biaya yang terjadi, yaitu (1) social and private cost, (2) opportunity cost and money cost, and (3) explicit and implicit costs (Latchanna dan Hussein, 2007: 52—56). Pendapat ahli lain menyatakan bahwa dalam pendidikan dikenal beberapa kategori biaya pendidikan yaitu (1) biaya langsung (direct cost) dan biaya tidak langsung (indirect cost), (2) biaya pribadi (private cost) dan biaya sosial (social cost), dan (3) biaya dalam bentuk uang (monetary cost) dan bukan uang (non-menetary cost) (Anwar, 1991; Gaffar, 1991; Thomas, 1972 dalam Sudarmanto: 2010). Dalam kenyataannya, pengkategorian biaya pendidikan tersebut dapat “tumpang tindih”; misalnya ada biaya pribadi dan sosial yang bersifat langsung dan tidak langsung serta berupa uang dan bukan uang, dan ada juga biaya langsung dan tidak langsung serta biaya pribadi dan biaya social yang dalam bentuk uang maupun bukan uang (Supriadi, 2010: 4).
Pengeluaran sekolah berkaitan dengan pembayaran keuangan sekolah untuk pembelian berbagai macam sumberdaya atau masukan (input) proses sekolah seperti tenaga administrasi, guru-guru, bahan-bahan, perlengkapan-perlengkapan dan fasilitas. Biaya menggambarkan nilai seluruh sumberdaya yang digunakan dalam proses sekolah apakah terdapat dalam anggaran sekolah dan pengeluaran atau tidak.
Dilihat dari sumber-sumbernya, biaya pendidikan pada tingkat makro berasal dari: (1) pendapatan Negara dari sector pajak, (2) pendapatan Negara dari sector non pajak, (3) keuntungan dari sector barang dan jasa dan (4) usaha-usaha Negara lainnya. Sementara di tingkat daerah, baik tingkat satu maupun tingkat dua berasal dari kucuran dana dari pusat beserta yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sementara dalam tataran sekolah, baik sekolah swasta maupun negeri pada dasarnya berasal dari subsidi pemerintah pusat, pemerintah daerah, iuran siswa dan sumbangan masyarakat (Supriadi, 2010: 4). Mengacu pada perundang-undangan yang berlaku, negaralah yang paling bertanggung jawab atas pembiayaan pendidikan secara makro. Akan tetapi peran masyarakat untuk ikut serta bertanggung jawab terhadap kelangsungan pendidikan juga tidak boleh dimatikan. Ketentuan dalam UU Sisdiknas Bab VIII tentang Wajib Belajar, Pasal 34 menyatakan bahwa setiap warga negara yang berusia 6 (enam) tahun dapat mengikuti program wajib belajar; Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat. Ketentuan tersebut kemudian diikuti oleh kebijakan-kebijakan lain seperti BOS (Biaya Operasional Sekolah).
Kebijakan BOS secara umum sangat membantu sekolah dan orangtua murid. Namun kala kebijakan ini langsung dilanjutkan dengan program sekolah gratis maka menimbulkan benturan-benturan di lapangan. Penyelenggaraan pendidikan bukan semua ditangani negara, bahkan yang ditangani oleh masyarakat (swasta) jumlahnya jauh lebih besar. Sekolah-sekolah swasta juga selalu disebut-sebut sebagai mitra pemerintah, karena memang kenyataannya sekolah-sekolah swasta dan sekolah-sekolah negeri sama-sama membina anak-anak bangsa. Sekolah-sekolah swasta membutuhkan kebijakan khusus berkaitan dengan program BOS jka keberadaannya masih tetap dibutuhkan. Sebenarnya, sekolah-sekolah negeri pun mengalami masalah serupa, terutama ketika mereka tidak boleh menarik iuran sama sekali. Akhirnya di lapangan muncul berbagai trik kebijakan untuk memayungi penarikan iuran. Salah satu yang juga disorot adalah keberadaan sekolah bertaraf Internasional yang diberi keleluasaan menarik iuran. Alhasil, sekolah-sekolah tersebut bersifat eksklusif. Padahal pendidikan adalah hak setiap warga negara.
Menurut Renstra Kementerian Pendidikan tahun 2010 – 2014, khususnya berkaitan dengan Strategi Pendanaan Pendidikan diatur hal-hal pokok seperti berikut :
1. Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja Negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah.
2. Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat (UU Sisdiknas).
3. Bagi satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat ada komponen pendanaan yang ditanggung oleh penyelenggara/masyarakat yang bersangkutan dan ada pula yang perlu mendapat dukungan dari pemerintah.
4. Pendanaan pendidikan juga menjadi tanggung jawab peserta didik dan orangtua peserta didik, untuk biaya-biaya khusus seperti biaya pribadi.
5. Pendanaan pendidikan dapat pula diperoleh dari masyarakat di luar penyelenggara pendidikan.
Mengacu pada kebijakan “sekolah gratis” yang didengungkan pada awal 2009 oleh pemerintah, sesungguhnya ada hal-hal yang harus dikritisi dan jika perlu dilakukan penelitian lebih mendalam. Dari kebijakan tersebut seolah-olah pembiayaan pendidikan dapat ditanggung oleh Negara (pemerintah pusat dan daerah). Biaya pendidikan di tingkat sekolah berasal dari tiga sumber yaitu pemerintah, keluarga peserta didik dan masyarakat. Menurut Dedi Supriadi (2010: 26) penghitungan biaya pendidikan dewasa ini cenderung bias dana pemerintah dengan mengabaikan daa yang berasal dari keluarga peserta didik dan masyarakat. Dana yang berasal dari keluarga peserta didik dan masyarakat cenderung kurang diangkat, sekaan-akan tidak sepenting dana dari pemerintah. Kalaupun kontribusi keluarga dan masyarakat diperhitungkan, terbatas pada sumbangan yang dikelola oleh Komite Sekolah. Padahal dana yang dibelanjakan langsung oleh keluarga dan masyarakat tidak pernah dihitung secara cermat. Klemahan penghitungan dana pendidkan secara demikian mengandung kelemahan memprediksi jumlah riil biaya yang benar-benar digunakan untuk mendukung penyelenggraaan pendidikan, karena mengabaikan kontribusi orangtua (Supriadi, 2010: 27).


Pembiayaan pendidikan di sekolah swasta
Sekolah swasta adalah lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat (bukan Negara). Penyelenggaraan Sekolah swasta di Indonesia dilakukan oleh beranekaragam pihak, yaitu: yang memiliki latar belakang keagamaan, kebudayaan/kedaerahan, sekolah yang diselenggarakan oleh organisasi wanita dan sekolah yang merupakan bagian dari suatu organisasi besar dengan beraneka ragam latar belakang pula. Dari perspektif manajemen penyelenggaraan pendidikan keragaman latar belakang itu berkaitan dengan kemampuan finansial kompetensi professional, dan akuntabilitas penyelenggaraan terhadap pemakai jasa pendidikan. Dalam keragaman itu pula, badan-badan penyelenggara pendidikan swasta dihadapkan dengan kewajiban mengimplementasikan salah satu strategi pokok kebijakan pendidikan nasional, yaitu peningkatan mutu pendidikan sekaligus mengimplementasikan kebijakan pembiayaan pendidikan. Jumlah sekolah formal umum yang diselenggarakan oleh swasta berkembang cukup pesat.
Sekolah swasta di Indonesia, selain memiliki akar sejarah yang kuat juga memiliki berbagai keuntungan dalam hal jaminan perundang-undangan, sifatnya yang manageable untuk peningkatan mutu dan difusi gagasan, pengelolaannya lebih otonomi, jalur birokrasinya lebih pendek, dan adanya keleluasaan berinovasi ke arah peningkatan mutu dan kinerja sekolah. Namun jika berhadapan dengan program pemerintah mengenai sekolah gratis, pengelolaan sekolah swasta menghadapi kendala yang serius. Ini terjadi jika tidak ada kebijakan lanjutan yang sungguh mempertimbangkan posisi perguruan swasta sebagai mitra sekolah-sekolah negeri
Pada dasarnya sekolah swasta membiayai operasional sekolahnya secara mandiri. Jika sekolah-sekolah swasta berada dalam suatu korporasi bisa terjadi subsidi silang antar sekolah dalam satu naungan. Kebijakan BOS di satu sisi membantu sekolah-sekolah swasta dalam pembiayaan operasional. Orangtua juga terbantu karena dana BOS juga digunakan untuk meringankan iuran orangtua. Berbagai kebutuhan dan fasilitas belajar peserta didik juga sangat terbantu dengan adanya dana BOS.
Namun, tatkala kebijakan BOS dibarengi dengan kebijakan sekolah gratis, bagi sekolah-sekolah swasta menjadi masalah besar, meskipun pemerintah menetapkan sekolah gratis sementara ini hanya untuk SD dan SMP Negeri. Sekolah-sekolah negeri sejauh ini biaya personalia ditanggung oleh negara. Oleh sebab itu dana BOS secara teoritis sudah dapat menutup biaya operasional sekolah. Sementara itu sekolah-sekolah swasta menanggung seluruh pembiayaan, termasuk biaya personalia. Maka, jika memang benar kebijakan BOS dimaksudkan untuk membuat pendidikan gratis, sekolah-sekolah swasta berada dalam kesulitan. Kesulitan-kesulitan itu antara lain : sekolah swasta terancam kehilangan murid, karena sebagian murid mencari sekolah gratis. Atau jika sekolah-sekolah swasta ikut menggratiskan seluruh siswa, operasional sekolah terancam kelangsungannya. Hal ini tidak terjadi jika anggaran pendidikan yang dikeluarkan oleh negara sungguh mampu menutup seluruh biaya pendidikan.
Permasalahan yang dihadapi sekolah-sekolah swasta pada masa sekarang bukan hanya masalah pembiayaan, tetapi juga kualitas dan ketersediaan peserta didik yang memadai. Teori yang mengatakan bahwa sekolah negeri dan swasta sama-sama dikembangkan oleh Negara perlu dipertanyakan secara kritis. Dana block grant yang selalu didengungkan belum mampu menjangkau seluruh sekolah yang membutuhkan. Akibatnya, sekolah-sekolah swasta akan semakin terpuruk. Sekolah-sekolah swasta yang lemah pelan-pelan akan tutup. Sekolah swasta yang semula kuat pelan-pelan akan melemah. Penyebabnya, lemah dari pembiayaan sehingga kualitas sarana prasarana tertinggal, SDM terbelakang, kekurangan peserta didik dan akhirnya pelan-pelan bangkrut. Tentu tidak bisa dipungkiri, ada pula sekolah-sekolah swasta yang tetap tegar di tengah persaingan. Tetapi sampai kapan?

Menjaga Eksistensi lembaga-lembaga pendidikan yayasan Mardi Wiyata
Sekolah-sekolah Mardi Wiyata adalah sekolah-sekolah swasta yang tersebar di tiga provinsi, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur dan Sumatera Selatan. Sekolah-sekolah yang bernaung di bawah yayasan Mardi Wiyata terdiri atas Taman Kanak-Kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA). Sekolah yang berjumlah 20 itu tersebar di kota-kota Kediri, Malang, Surabaya, Ende, Maumere, Podor (Larantuka), Sumba dan Palembang. Menurut data statistik yayasan Mardi Wiyata pada tahun 2009/2010 sekolah-sekolah Mardi Wiyata memiliki peserta didik sejumlah 10.812 orang dengan 731 orang guru/pegawai. Sekolah-seklah Mardi Wiyata yang berada di kota Malang terdiri atas 6 sekolah yaitu 1 (satu) Taman Kanak-kanak, 2 (dua) Sekolah Dasar, 2 (dua) Sekolah Menengah Pertama dan 1 (satu) Sekolah Menengah Atas.
Sebagai suatu lembaga pendidikan yang telah berusia lebih dari 50 tahun, yayasan Mardi Wiyata harus mampu memamage pembiayaan sehingga mampu menghidupi dan dihidupi sekolah-sekolah yang bernaung di bawahnya. Sistem subsidi silang yang pada era 2000-an mulai digalakkan ternyata mampu menghidupi lembaga ini. Sekolah-sekolah yang memiliki kelebihan dana memiliki peran besar dalam menghidupi sekolah-sekolah yang secara ekonomi lemah. Kebijakan yayasan yang sentralistik, terutama dalam hal pembiyaan pendidikan sungguh mampu mewadahi berbagai karakteristik sekolah-sekolah yang terbentang di beberapa pulau besar Indonesia itu. Dengan demikian, meski dalam hal pemasukan keuangan, beberapa sekolah mengalami devisit akibat situasi ekonomi sebagian besar orangtua peserta didik berada di level ekonomi lemah, namun tetap survive. Justru sekolah-sekolah tersebut dikembangklan dan dipertahankan sebagai sarana yayasan mengabdikan diri kepad masyarakay yang lemah dan berkekurangan. Tentu hal ini berjalan lancar jika tampuk pimpinan yayasan memiliki wawasan luas dalam manajemen pendidikan sekaligus dalam humanisme.

Upaya Menggali Sumber Dana Bagi Lembaga-lembaga Swasta
Tidak ada pilihan lain bagi sekolah swasta kecuali berupaya menggali sebanyak mungkin sumber dana demi kelangsungan perguruan swasta sehinga tetap eksis di tengah persaingan yang sering sangat tidak sehat ini. Pemilik dan pengelola lembaga swasta pada saat ini tidak sekedar berhadapan dengan kesulitan pembiayaan tetapi juga daya saing dan kelangsungan lembaganya. Semua itu saling terkait satu sama lain sehingga perlu penanganan yang menyeluruh dan simultan. Penanganan pembiayaan demikian akan mampu mempertahankan eksistensi lembaga bahkan mengembangkannya sehingga mampu bersaing di era global ini. Sekolah swasta bukanlah sekolah yang otomatis kalah dalam persaingan, meski dengan sekolah-sekolah yang diselenggarakan oleh negara.
Belajar dari sekolah-sekolah yang bernaung di bawah yayasan Mardi Wiyata, beberapa kiat berikut akan mampu mengatasi kesulitan pembiayaan sekolah:
a. Pengelolaan pembiayaan pendidikan secara sentralistik (terpusat) sehingga memungkinkan terjadinya subsidi silang antar sekolah yang bernaung di bawah yayasan tersebut. Hal ini tentu sulit bagi sekolah-sekolah yang kecil, atau yayasan yang mengelola sekolah dalam jumlah terbatas.
b. Manajemen keuangan yang akuntabel dan profesional. Beberapa yayasan Katolik dikelola oleh orang-orang “berjubah” yang dari sisi ekonomi tidak suka “makan uang” sehingga memungkinkan pengelolaan keuangan secara jujur. Meski harus diakui ketidakjujuran tidak mungkin dihapuskan begitu saja.
c. Adanya pemetaan kemampuan finansial bagi sekolah-sekolah yang bernaung di bawah yayasan, upaya menjaga kesuburan dan kredibilitasnya. Sekolah-sekolah yang subur harus dipelihara dan dikembangkan, tidak boleh diperas demi sekolah-sekolah yang secara ekonomis devisit.
d. Kecuali ketiga hal tersebut di atas yayasan pendidikan dan sekolah tetap berusaha maksimal menggali sumber dana pendukung (di luar SPP) demi pengembangan yayasan dan sekolah tersebut :
1) Investasi: yayasan dan sekolah melakukan investasi dalam bentuk uang, tanah dan bangunan dalam jangka waktu tertentu untuk menjamin kelangsungan pembiayaan karya pendidikan.
2) Penggalangan dana abadi dari alumni. Dana abadi berarti dana sumbangan dari alumni yang disumbangkan secara rutin melalui rekening sekolah atau yayasan untuk modal dana investasi. Dana ini tidak untuk dipergunakan, kecuali setelah jangka waktu tertentu (panjang).
3) Penggalangan dan insidental. Penggalangan dana ini dilakukan bekerja sama dengan alumni yang berprofesi sebagai artis atau tokoh masyarakat. Penggalangan dana ini dilakukan secara terencana dan profesional sehingga hasilnya maksimal.
4) Sistem “kakak asuh”, yakni program meringankan beban biaya lintas sekolah dalam yayasan. Pelaksanaannya, anak-anak mampu dari sekolah-sekolah mampu memiliki “adik asuh” di sekolah-sekolah lemah. Konsep ini mampu mewadahi semangat solidaritas sekaligus mengatasi kekurangan dana pada sekolah-sekolah yang lemah.
5) Mencari donatur ke luar negeri melalui lembaga-lembaga resmi. Lembaga-lembaga resmi yang dimaksud adalah lembaga-lembaga donor. Yayasan perguruan swasta dalam hal ini lebih mudah mengakses lembaga donor luar negeri karena lebih dipercaya ketimbang lembaga milik pemerintah.
6) Usaha-usaha lain. Yang dimaksud dengan usaha-usaha lain adalah usaha-usaha produktif seperti membuka toko swalayan, membuka pom bensin, perkebunan, usaha transportasi bahkan usaha perbankan dan usaha jasa lainnya. Modal diperoleh dari dana abadi dan dikelola secara profesional oleh tenaga-tenaga profesional pula.

Peran Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dalam upaya menggali sumber dana
Pertama-tama harus disadari bahwa peran MBS bagi sekolah negeri dan sekolah swasta memiliki nuansa yang sedikit berbeda. Di sekolah negeri, peran masyarakat sebagai salah satu pemangku kepentingan perlu ditonjolkan, baik dalam pengawasan maupun dalam penyusunan suatu kebijakan. Namun di sekolah swasta, peran yayasan sangat besar karena yayasan adalam pemilik sekaligus sebagai pihak yang bertanggung jawab bagi kelangsungan hidup sekolah. Yayasan penyelenggara pendidikanlah yang sering harus mengambil kebijakan strategis bagi kelangsungan hidup sekolah, termasuk dalam penunjukan pimpinan sekolah. Akses masyarakat luas kalah kekuatan dibanding yayasan dalam menangani sekolah, termasuk keuangannya. Perkecualian, yayasan-yayasan yang dimiliki oleh orang banyak (masyarakat umum).
Namun demikian Manajemen Berbasis Sekolah, suatu konsep manajemen yang mengedepankan demokratisasi, otonomi, desentralisasi dan akuntabilitas pendidikan sungguh sangat bagus diterapkan di sekolah swasta juga. Yayasan yang kuat, jika didukung dengan kemampuan sekolah menghidupkan segala sumber daya yang ada akan menjadi sinergi yang sangat menguntungkan. Dengan kata lain meski peran masyarakat dalam pengelolaan pendidikan swasta berada di bawah sekolah negeri, tetapi perannya tetap sangat mendukung pengembangan sekolah. Dari sisi demokratisasi, sekolah memberi lebih banyak ruang bagi masyarakat untuk menyampaikan ide dan gagasan, termasuk dalam penggalangan dana. Otonomi sekolah, meski dalam yayasan perguruan swasta tidak terlampau tampak dapat menjadi pendorong kemandirian. Hal ini penting agar sekolah tidak terninabobokkan oleh kemampuan yayasan. Desentralisasi, lebih pada kemampuan membangkitkan sumber daya lokal. Sedangkan prinsip akuntabilitas dalam sekolah swasta tidak terlepas dari peran yayasan. Artinya pertanggungjawaban keuangan sekolah swasta pertama-tama dilakukan kepada yayasan, baru kemudian kepad masyarakat (orantua) peserta didik. Pengecualian, dana dari pemerintah harus dipertanggungjawabkan kepada publik sesuai mekanisme yang berlaku.


PENUTUP
Pembiayaan pendidikan merupakan aspek yang vital dalam upaya mengembangkan system pendidikan nasional. Pendidikan sebagai sebuah investasi Sumber Daya Manusia (SDM) bagi kehidupan bangsa dan Negara di masa mendatang tidak boleh dipandang remeh. Amanat Undang-undang yang mewajibkan pemerintah merealisasikan anggaran 20% untuk pendidikan sesungguhnya didasari oleh suatu wawasan jauh ke depan. Akan tetapi kenyataannya pada tataran implementasi, anggaran 20% tersebut masih dipelintir dan dipolitisir. Hal ini menyebabkan anggaran pendidikan tidak sesuai dengan amanat undang-undang, bahkan terkesan seadanya.Berkenaan dengan perguruan swasta, karena status kemandiriannya seharusnya tidak boleh terlalu tergantung dengan kebijakan pemerintah di bidang keuangan. Hal ini disebabkan pengelolaan keuangan di yayasan bersifat mandiri. Namun demikian, dukungan dana darim pemerintah tentu sangat besar artinya bagi sekolah-sekolah swasta, asal kebijakan tersebut adil dalam implementasinya.
Keseriusan pemerintah dalam melaksanakan berbagai kebijakan, seperti Wajib Belajar (Wajar) 9 tahun serta Bantuan Operasional Sekolah (BOS) perlu mendapat apresiasi positif dari masyarakat. Kebijakan sekolah gratis yang dikaitkan dengan program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) perlu disempurnakan dengan kebijakan lanjutan sehingga masyarakat luas terlayani haknya untuk memperoleh pendidikan murah, sekolah-sekolah negeri dan swasta tetap eksis memainkan perannya ambil bagian dalam system pendidikan nasional. Program pendidikan gratis tidak boleh mematikan peranserta masyarakat serta orangtua peserta didik untuk ikut membiayai pendidikan, mengingat pendidikan adalah investasi berharga untuk masa depan. Konsep pendidikan gratis seyogyanya diubah konsepnya menjadi pendidikan murah.
Sekolah-sekolah swasta dengan segala keterbatasannya berusaha mencukupi kebutuhan operasional sekolah, mulai dari gaji, sarana-prasarana, biaya operasional hingga biaya investasi lainnya. Oleh sebab itu kebijakan pemerintah seperti BOS hendaknya benar-benar mendukung kehidupan sekolah swasta, bukan mematikannya. Dana Alokasi Khusus (DAK), block grant dan dana-dana pemerintah lainnya seharusnya mampu menjangkau bukan saja sekolah-sekolah ngeri, tetapi juga sekolah-sekolah swasta yang memiliki potensi dan prospek pengembangan ke depan. Teori seleksi alam tidak boleh dibiarkan terjadi dalam dunia pendidikan. Lembaga-lembaga yang lemah harus dibina dan didukung dengan berbagai dukungan sehingga mampu hidup, berkembang dan bersaing. Semuanya demi membangun SDM berkualitas untuk masa depan bangsa dan Negara.
Di luar itu semua lembaga swasta perlu berusaha keras menggali sumber dana demi kelangsungan dan perkembangan karya di bidang pendidikan. Berbagai inovasi dan pemberdayaan perlu dilakukan untuk tercapainga “kecukupan” dan “kelimpahan” dalam pembiayaan pendidikan. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dapat membantu peningkatan pnggalangan dala bagi sekolah swasta.





DAFTAR PUSTAKA

Depdiknas. 2005. Renstra Departemen Pendidikan Nasional 2005 – 2009. (Online), (http://www.depdiknas.go.id, diakses 16 Oktober 2010)
Depdiknas. 2010. Renstra Kementerian Pendidikan Nasional 2010 – 2014: Melayani Semua Dengan Amanah. (Online), (http://www.depdiknas.go.id, diakses 16 Oktober 2010)
Sudarmanto, R. Gunawan. 2010. Pembiayaan Pendidikan Pada Era Otonomi Daerah (Permasalahan dan Prospeknya). (Online), (http://www.blok.unila.ac.id, diakses tanggal 16 Oktober 2010)
Sudarmanto, R. Gunawan. 2010. Pembiayaan Pendidikan Dan Otonomi Sekolah Dalam Menghadapi Globalisasi. Makalah pada Seminar Internasional tentang Globalisasi Pendidikan Program Pascasarjana FKIP Universitas Lampung, tanggal 21 Juni 2010. (Online), (http://www.blok.unila.ac.id, diakses tanggal 16 Oktober 2010)
Supriadi, Dedi. 2010. Satuan Biaya Pendidikan Dasar Dan Menengah. Bandung: Rosdakarya.
Sulistyoningrum, Nining. 2010. Standar Pembiayaan Pendidikan. (online), (http://niningsulistyoningrum.wrdpress.com, diakses 16 Oktober 2010)
UUD Negara Republik Indonesia 1945 (Amandemen IV).
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Yayasan Mardi Wiyata. 2003. Manual Administrasi Yayasan Mardi Wiyata. Malang: Dioma.
Yayasan Mardi Wiyata. 2007. Program Yayasan Mardi Wiyata 2007 – 2012.

Kamis, 21 Oktober 2010

KEBIJAKAN PEMBIAYAAN PENDIDIKAN ANTARA SEKOLAH SWASTA DAN SEKOLAH NEGERI

KEBIJAKAN PEMBIAYAAN PENDIDIKAN
ANTARA SEKOLAH SWASTA DAN SEKOLAH NEGERI
Markus Basuki


PENDAHULUAN


Latar Belakang Masalah
Keterpurukan bangsa yang selalu diangkat ke permukaan seringkali selalu dikaitkan dengan pendidikan. Pendidikan dinilai paling bertanggung jawab atas berbagai ketimpangan yang ada. Tentu tidak sepenuhnya salah dan benar. Pendidikan memang bidang strategis dalam membangun suatu bangsa. Kelalaian membangun pendidikan akan berakibat fatal bagi output SDM yang diharapkan. Kenyataan, pendidikan selama ini tidak dipandang penting, atau terpenting oleh sebagian masyarakat. Kesadaran akan nilai investasi pendidikan masih belum Nampak. Dukungan Negara dalam membangun pendidikan di Indonesia pun masih belum maksimal. Sudah ada upaya, namun belum signifikan tampak, lebih-lebih dalam bidang pembiayaan.
Semua pihak mengharapkan adanya pendidikan yang berkualitas, namun di sisi lain banyak pihak yang merasa keberatan untuk mengeluarkan dana sebagai sumber pembiayaan pendidikan. Masyarakat berdalih, pendidikan adalah tanggungan Negara. Dan pendapat tersebut tidak salah. Kualitas pendidikan, sebagaimana Negara dan masyarakat harapkan sangat ditentukan oleh tingkat pembiayan yang dilakukan. Guna menghasilkan pendidikan yang berkualitas tinggi diperlukan pembiayaan secara optimal.
Pembiayaan pendidikan menjadi masalah yang sangat penting dalam keseluruhan pembangunan sistem pendidikan. Uang memang tidak segala-galanya dalam menentukan kualitas pendidikan, tetapi segala kegiatan pendidikan memerlukan uang. Oleh karena itu jika performance sistem pendidikan diperbaiki, manajemen penganggarannya juga tidak mungkin dibiarkan, mengingat bahwa anggaran mesti mendukung kegiatan. Tidak semua masyarakat Indonesia sepenuhnya menyadari bahwa biaya pendidikan yang cukup akan dapat mengatasi berbagai masalah pendidikan, meskipun tidak semua masalah akan dapat dipecahkan secara tuntas (Sutjipto, 2004 dalam Sudarmanto: 2010).
Perbincangan tentang biaya pendidikan bukanlah sesuatu yang baru akan tetapi masih merupakan hal yang sangat menarik untuk dikaji, terutama pada tahun pelajaran baru. Biaya pendidikan merupakan salah satu komponen masukan instrumental yang sangat penting dalam penyelenggaraan pendidikan (di sekolah). Dalam setiap upaya pencapaian tujuan pendidikan—baik tujuan-tujuan yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif—biaya pendidikan memiliki peranan yang sangat menentukan. Lebih lanjut dinyatakan bahwa hampir tidak ada upaya pendidikan yang dapat mengabaikan peranan biaya, sehingga dapat dikatakan bahwa tanpa biaya, proses pendidikan (di sekolah) tidak akan berjalan (Supriadi, 2006:3 dalam Sudarmanto: 2010).
Di era globalisasi ini pembiayaan pendidikan harus menjadi perhatian serius bagi siapa saja yang hendak mengembangkan kualitas pendidikan, pemerintah maupun pihak swasta. Tentu, system dan manajemen pembiayaan pendidkan untuk sekolah negeri dan sekolah swasta harus dibedakan karena memang memiliki karakteristik yang berbeda.

Rumusan Masalah
Berdasar uraian di atas dapat dirumuskan masalah pembiayaan pendidikan di sekolah negeri dan sekolah swasta sebagai berikut :
1. Apa pentingnya pembiayaan pendidikan dalam keseluruhan program peningkatan kualitas pendidikan, khususnya di Indonesia?
2. Bagaimana implementasi pembiayaan pendidikan di sekolah negeri?
3. Bagaimana implementasi pembiayaan pendidikan di sekolah swasta?

Tujuan dan Manfaat
Makalah ini disusun untuk mengkaji secara sedikit mendalam sekitar permasalahan pembiayaan pendidikan terutama dikaitkan dengan keberadaan sekolah negeri dan sekolah swasta. Dengan pembahasan tersebut diharapkan diperoleh suatu persamaan konsep dasar mengenai pembiayaan pendidikan. Diperolehnya gambaran yang lebih jelas mengenai karakteristik pembiayaan pendidikan pada sekolah negeri dan sekolah swasta diharapkan mampu member masukan bagi perbaikan kebijakan pembiayaan pendidikan. Dengan demikian, dikotomi sekolah negeri dan sekolah swasta tidak semakin melebar. Karena harus diakui sekolah swasta khususnya, yang jumlahnya jauh melebihi sekolah negeri sesungguhnya memiliki jasa luar biasa bagi perkembangan bangsa dan Negara. Secara historis sekolah-sekolah swasta terbukti memiliki jalinan tak terpisahkan dengan keseluruhan proses pembangunan bangsa dan Negara.
Dengan membahas pembiayaan pendidikan di sekolah negeri dan swasta diharapkan menambah wawasan pembiayaan pendidikan, khususnya bagi para penentu kiebijakan baik pada tingkat lembaga (sekolah) maupun tingkat makro. Manfaat lain yang bisa diambil ialah diperoleh perimbangan opini public mengenai keberadaan sekolah swasta dan sekolah negeri, khususnya menyangkut kelangsungan hidup sekolah swasta. Kecuali itu diharapkan berimplikasi pada kebijakan yang lebih adil serta memihak kebenaran.

KAJIAN PUSTAKA

Kebijakan selalu dikaitkan dengan publik (Wikipedia bahasa Indonesia). Kebijakan Publik (Inggris: Public Policy) adalah keputusan-keputusan yang mengikat bagi orang banyak pada tataran strategis atau bersifat garis besar yang dibuat oleh pemegang otoritas publik. Sebagai keputusan yang mengikat publik maka kebijakan publik haruslah dibuat oleh otoritas politik, yakni mereka yang menerima mandat dari publik atau orang banyak, umumnya melalui suatu proses pemilihan untuk bertindak atas nama rakyat banyak. Selanjutnya, kebijakan publik akan dilaksanakan oleh administrasi negara yang di jalankan oleh birokrasi pemerintah. Fokus utama kebijakan publik dalam negara modern adalah pelayanan publik, yang merupakan segala sesuatu yang bisa dilakukan oleh negara untuk mempertahankan atau meningkatkan kualitas kehidupan orang banyak. Kebijakan pembiayaan pendidikan adalah salah satu keputusan otoritas public dalam rangka melaksanakan amanat undang-undang.
Pembiayaan pendidikan telah diatur dalam UUD Negara Republik Indonesia 1945 (Amandemen IV) yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan; setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya; pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang; negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional; pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional lebih lanjut telah mengatur beberapa pasal yang menjelaskan pendanaan pendidikan yaitu pada Pasal 11 Ayat 2 Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai lima belas tahun. Lebih lanjut pada Pasal 12, Ayat (1) disebutkan bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi yang orangtuanya tidak mampu membiayai pendidikannya dan mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orangtuanya tidak mampu membiayai pendidikannya. Di samping itu disebutkan pula bahwa setiap peserta didik berkewajiban ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi peserta didik yang dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam UU Sisdiknas Bab VIII tentang Wajib Belajar, Pasal 34 dinyatakan bahwa setiap warga negara yang berusia 6 (enam) tahun dapat mengikuti program wajib belajar; Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat. Ketentuan mengenai wajib belajar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan PP. Pendanaan Pendidikan menjadi tanggungjawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat. Sumber pendanaan pendidikan ditentukan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan. Pengelolaan dana pendidikan dilakukan berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik.
Dalam tataran aplikasi, pembiayaan pendidikan dibedakan antara lembaga-lembaga milik Negara (sekolah-sekolah negeri) dan lembaga masyarakat (sekolah-sekolah swasta). Pembiayaan pendidikan antara kedua jenis lembaga itu memiliki karakteristik yang berbeda. Sekolah negeri adalah sekolah milik Negara yang pembiayaannya menjadi tanggung jawab Negara sepenuhnya. Oleh sebab itu akuntabilitas dari kedua jenis lembaga pendidikan tersebut berbeda nuansanya.
Sekolah swasta adalah sekolah yang pengelolaannya dilakukan oleh masyarakat (bukan negara). Penyelenggaraan Sekolah swasta di Indonesia dilakukan oleh beranekaragam pihak, yaitu: yang memiliki latar belakang keagamaan, kebudayaan/kedaerahan, sekolah yang diselenggarakan oleh organisasi wanita dan sekolah yang merupakan bagian dari suatu organisasi besar dengan beraneka ragam latar belakang pula. Sekolah-sekolah swasta sering disebut-sebut sebagai mitra pemerintah dalam pendidikan, karena memang kenyataannya sekolah-sekolah swasta dan sekolah-sekolah negeri sama-sama membina anak-anak bangsa.

IMPLIKASI DAN PEMBAHASAN

Pentingnya pembiayaan pendidikan dalam keseluruhan program peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia

Pembiayaan pendidikan merupakan komponen yang sangat penting dalam penyelenggaraan pendidikan. Pembiayaan pendidikan yang bersifat makro maupun mikro haruslah tepat dan adil dan mengarah pada tujuan pendidikan nasional. Anatomi pembiayaan baik makro maupun mikro harus dipahami secara benar sehingga para pengambil keputusan sungguh dapat menghasilkan kebijakan yang tepatguna. Diperlukan suatu penelitian atau studi yang mendalam khususnya saat menentukan kebijakan pembiayaan pendidikan yang bersifat mikro, yaitu pada tataran lembaga/sekolah. Pada umumnya penelitian lebih terfokus pada pembiayaan pendidikan dalam skala makro (Supriadi, 2010: iv). Disadari sepenuhnya bahwa berdasar studi pada sekolah-sekolah negeri pada tahun 2002 ditemukan suatu fakta: tingginya peranan keluarga dalam pembiayaan pendidikan. Bahkan kalau dihitung dan dibandingkan dengan subsidi pemerintah, biaya pendidikan dari orangtua lebih banyak jumlahnya (Supriadi, 2010: v). Kenyataan ini tentu ikut mempengaruhi kebijakan pembiayaan pendidikan pada tahun-tahun berikutnya.
Konsep biaya pendidikan ini dapat dibedakan dengan cara mengelompokkan biaya yang terjadi, yaitu (1) social and private cost, (2) opportunity cost and money cost, and (3) explicit and implicit costs (Latchanna dan Hussein, 2007: 52—56). Pendapat ahli lain menyatakan bahwa dalam pendidikan dikenal beberapa kategori biaya pendidikan yaitu (1) biaya langsung (direct cost) dan biaya tidak langsung (indirect cost), (2) biaya pribadi (private cost) dan biaya sosial (social cost), dan (3) biaya dalam bentuk uang (monetary cost) dan bukan uang (non-menetary cost) (Anwar, 1991; Gaffar, 1991; Thomas, 1972 dalam Sudarmanto: 2010). Dalam kenyataannya, pengkategorian biaya pendidikan tersebut dapat “tumpang tindih”; misalnya ada biaya pribadi dan sosial yang bersifat langsung dan tidak langsung serta berupa uang dan bukan uang, dan ada juga biaya langsung dan tidak langsung serta biaya pribadi dan biaya social yang dalam bentuk uang maupun bukan uang (Supriadi, 2010: 4).
Pengeluaran sekolah berkaitan dengan pembayaran keuangan sekolah untuk pembelian berbagai macam sumberdaya atau masukan (input) proses sekolah seperti tenaga administrasi, guru-guru, bahan-bahan, perlengkapan-perlengkapan dan fasilitas. Biaya menggambarkan nilai seluruh sumberdaya yang digunakan dalam proses sekolah apakah terdapat dalam anggaran sekolah dan pengeluaran atau tidak.
Dilihat dari sumber-sumbernya, biaya pendidikan pada tingkat makro berasal dari: (1) pendapatan Negara dari sector pajak, (2) pendapatan Negara dari sector non pajak, (3) keuntungan dari sector barang dan jasa dan (4) usaha-usaha Negara lainnya. Sementara di tingkat daerah, baik tingkat satu maupun tingkat dua berasal dari kucuran dana dari pusat beserta yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sementara dalam tataran sekolah, baik sekolah swasta maupun negeri pada dasarnya berasal dari subsidi pemerintah pusat, pemerintah daerah, iuran siswa dan sumbangan masyarakat (Supriadi, 2010: 4). Mengacu pada perundang-undangan yang berlaku, negaralah yang paling bertanggung jawab atas pembiayaan pendidikan secara makro. Akan tetapi peran masyarakat untuk ikut serta bertanggung jawab terhadap kelangsungan pendidikan juga tidak boleh dimatikan. Ketentuan dalam UU Sisdiknas Bab VIII tentang Wajib Belajar, Pasal 34 menyatakan bahwa setiap warga negara yang berusia 6 (enam) tahun dapat mengikuti program wajib belajar; Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat. Ketentuan tersebut kemudian diikuti oleh kebijakan-kebijakan lain seperti BOS (Biaya Operasional Sekolah).
Tujuan khusus kebijakan BOS seperti dimuat dalam buku panduan Bantuan Operasional Sekolah untuk Pendidikan Gratis dalam rangka Wajib Belajar 9 Tahun yang Bermutu adalah menggratiskan seluruh siswa miskin di tingkat pendidikan dasar dari beban biaya operasional sekolah, baik di sekolah negeri maupun sekolah swasta. Tujuan khusus kedua adalah menggratiskan seluruh siswa SD negeri dan SMP negeri terhadap biaya operasional sekolah, kecuali pada rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) dan sekolah bertaraf internasional (SBI).
Implemetasi dari program tersebut sejak Januari 2009 pemerintah mewajibkan seluruh Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama Negeri seluruh Indonesia untuk menggratiskan seluruh peserta didik dari kewajiban membayar uang sekolah, kecuali untuk sekolah kategori khusus, misalnya Sekolah Bertaraf Internasional. Kebijakan ini tentu membawa dampak positif dan negatif bagi dunia pendidikan di tanah air. Pihak-pihak yang menerima dampak langsung adalah sekolah-sekolah yang diselenggarakan oleh masyarakat (swasta).
Kebijakan BOS secara umum sangat membantu sekolah dan orangtua murid. Namun kala kebijakan ini langsung dilanjutkan dengan program sekolah gratis maka menimbulkan benturan-benturan di lapangan. Penyelenggaraan pendidikan bukan semua ditangani negara, bahkan yang ditangani oleh masyarakat (swasta) jumlahnya jauh lebih besar. Sekolah-sekolah swasta juga selalu disebut-sebut sebagai mitra pemerintah, karena memang kenyataannya sekolah-sekolah swasta dan sekolah-sekolah negeri sama-sama membina anak-anak bangsa. Sekolah-sekolah swasta membutuhkan kebijakan khusus berkaitan dengan program BOS jka keberadaannya masih tetap dibutuhkan. Sebenarnya, sekolah-sekolah negeri pun mengalami masalah serupa, terutama ketika mereka tidak boleh menarik iuran sama sekali. Akhirnya di lapangan muncul berbagai trik kebijakan untuk memayungi penarikan iuran. Salah satu yang juga disorot adalah keberadaan sekolah bertaraf Internasional yang diberi keleluasaan menarik iuran. Alhasil, sekolah-sekolah tersebut bersifat eksklusif. Padahal pendidikan adalah hak setiap warga negara.
Menurut Renstra Kementerian Pendidikan tahun 2010 – 2014, khususnya berkaitan dengan Strategi Pendanaan Pendidikan diatur hal-hal pokok seperti berikut :
1. Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja Negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah.
2. Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat (UU Sisdiknas).
3. Bagi satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat ada komponen pendanaan yang ditanggung oleh penyelenggara/masyarakat yang bersangkutan dan ada pula yang perlu mendapat dukungan dari pemerintah.
4. Pendanaan pendidikan juga menjadi tanggung jawab peserta didik dan orangtua peserta didik, untuk biaya-biaya khusus seperti biaya pribadi.
5. Pendanaan pendidikan dapat pula diperoleh dari masyarakat di luar penyelenggara pendidikan.
Mengacu pada kebijakan “sekolah gratis” yang didengungkan pada awal 2009 oleh pemerintah, sesungguhnya ada hal-hal yang harus dikritisi dan jika perlu dilakukan penelitian lebih mendalam. Dari kebijakan tersebut seolah-olah pembiayaan pendidikan dapat ditanggung oleh Negara (pemerintah pusat dan daerah). Biaya pendidikan di tingkat sekolah berasal dari tiga sumber yaitu pemerintah, keluarga peserta didik dan masyarakat. Menurut Dedi Supriadi (2010: 26) penghitungan biaya pendidikan dewasa ini cenderung bias dana pemerintah dengan mengabaikan daa yang berasal dari keluarga peserta didik dan masyarakat. Dana yang berasal dari keluarga peserta didik dan masyarakat cenderung kurang diangkat, sekaan-akan tidak sepenting dana dari pemerintah. Kalaupun kontribusi keluarga dan masyarakat diperhitungkan, terbatas pada sumbangan yang dikelola oleh Komite Sekolah. Padahal dana yang dibelanjakan langsung oleh keluarga dan masyarakat tidak pernah dihitung secara cermat. Klemahan penghitungan dana pendidkan secara demikian mengandung kelemahan memprediksi jumlah riil biaya yang benar-benar digunakan untuk mendukung penyelenggraaan pendidikan, karena mengabaikan kontribusi orangtua (Supriadi, 2010: 27).


Pembiayaan pendidikan di sekolah swasta
Sekolah swasta adalah lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat (bukan Negara). Penyelenggaraan Sekolah swasta di Indonesia dilakukan oleh beranekaragam pihak, yaitu: yang memiliki latar belakang keagamaan, kebudayaan/kedaerahan, sekolah yang diselenggarakan oleh organisasi wanita dan sekolah yang merupakan bagian dari suatu organisasi besar dengan beraneka ragam latar belakang pula. Dari perspektif manajemen penyelenggaraan pendidikan keragaman latar belakang itu berkaitan dengan kemampuan finansial kompetensi professional, dan akuntabilitas penyelenggaraan terhadap pemakai jasa pendidikan. Dalam keragaman itu pula, badan-badan penyelenggara pendidikan swasta dihadapkan dengan kewajiban mengimplementasikan salah satu strategi pokok kebijakan pendidikan nasional, yaitu peningkatan mutu pendidikan sekaligus mengimplementasikan kebijakan pembiayaan pendidikan.

Sekolah swasta di Indonesia, selain memiliki akar sejarah yang kuat juga memiliki berbagai keuntungan dalam hal jaminan perundang-undangan, sifatnya yang manageable untuk peningkatan mutu dan difusi gagasan, pengelolaannya lebih otonomi, jalur birokrasinya lebih pendek, dan adanya keleluasaan berinovasi ke arah peningkatan mutu dan kinerja sekolah. Namun jika berhadapan dengan program pemerintah mengenai sekolah gratis, pengelolaan sekolah swasta menghadapi kendala yang serius. Ini terjadi jika tidak ada kebijakan lanjutan yang sungguh mempertimbangkan posisi perguruan swasta sebagai mitra sekolah-sekolah negeri
Pada dasarnya sekolah swasta membiayai operasional sekolahnya secara mandiri. Jika sekolah-sekolah swasta berada dalam suatu korporasi bisa terjadi subsidi silang antar sekolah dalam satu naungan. Kebijakan BOS di satu sisi membantu sekolah-sekolah swasta dalam pembiayaan operasional. Orangtua juga terbantu karena dana BOS juga digunakan untuk meringankan iuran orangtua. Berbagai kebutuhan dan fasilitas belajar peserta didik juga sangat terbantu dengan adanya dana BOS.
Namun, tatkala kebijakan BOS dibarengi dengan kebijakan sekolah gratis, bagi sekolah-sekolah swasta menjadi masalah besar, meskipun pemerintah menetapkan sekolah gratis sementara ini hanya untuk SD dan SMP Negeri. Sekolah-sekolah negeri sejauh ini biaya personalia ditanggung oleh negara. Oleh sebab itu dana BOS secara teoritis sudah dapat menutup biaya operasional sekolah. Sementara itu sekolah-sekolah swasta menanggung seluruh pembiayaan, termasuk biaya personalia. Maka, jika memang benar kebijakan BOS dimaksudkan untuk membuat pendidikan gratis, sekolah-sekolah swasta berada dalam kesulitan. Kesulitan-kesulitan itu antara lain : sekolah swasta terancam kehilangan murid, karena sebagian murid mencari sekolah gratis. Atau jika sekolah-sekolah swasta ikut menggratiskan seluruh siswa, operasional sekolah terancam kelangsungannya. Hal ini tidak terjadi jika anggaran pendidikan yang dikeluarkan oleh negara sungguh mampu menutup seluruh biaya pendidikan.
Permasalahan yang dihadapi sekolah-sekolah swasta pada masa sekarang bukan hanya masalah pembiayaan, tetapi juga kualitas dan ketersediaan peserta didik yang memadai. Teori yang mengatakan bahwa sekolah negeri dan swasta sama-sama dikembangkan oleh Negara perlu dipertanyakan secara kritis. Dana block grant yang selalu didengungkan belum mampu menjangkau seluruh sekolah yang membutuhkan. Akibatnya, sekolah-sekolah swasta akan semakin terpuruk. Sekolah-sekolah swasta yang lemah pelan-pelan akan tutup. Sekolah swasta yang semula kuat pelan-pelan akan melemah. Penyebabnya, lemah dari pembiayaan sehingga kualitas sarana prasarana tertinggal, SDM terbelakang, kekurangan peserta didik dan akhirnya pelan-pelan bangkrut. Tentu tidak bisa dipungkiri, ada pula sekolah-sekolah swasta yang tetap tegar di tengah persaingan. Tetapi sampai kapan?

Pembiayaan pendidikan di sekolah negeri
Pembiayaan pendidikan sekolah negeri di Indonesia berubah seiring pelaksanaan otonomi daerah. Dengan diberlakukannya Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sejak 1 Januari 2001, kewenangan pemerintah pusat dan daerah pun berubah total. Jika selama ini segala sesuatu serba berbau sentralisasi, maka sejak Januari lalu sejumlah urusan--khususnya bidang pendidikan; dasar dan menengah--diserahkan kepada daerah alias didesentralisasikan. Secara formal, pendidikan merupakan salah satu sektor yang pelaksanaan fungsinya dilakukan daerah. Artinya, pemerintah daerah akan mempunyai peran yang lebih besar dalam penanganan masalah pendidikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. (Prihandiyoko, 2001). Peningkatan peran ini termasuk dalam pengalokasian dana pendidikan. Bagi pemerintah daerah, peningkatan peran ini mempunyai dua arti. Selain sebagai momentum, juga menjadi tantangan bagi daerah untuk membuktikan komitmennya dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) melalui pendidikan.

Pasal 6 Keputusan Mendiknas No 056/U/2001 tentang Pedoman Pembiayaan Penyelenggaraan Pendidikan di Sekolah menyebutkan, penyelenggaraan pendidikan di sekolah dibiayai terutama dari anggaran daerah otonom penyelenggara sekolah yang bersangkutan. Selain itu, pembiayaan dapat dilakukan melalui pemberdayaan peran serta masyarakat, orangtua, dan sumber lainnya. Prinsip yang harus diperhatikan adalah asas musyawarah, mufakat, keadilan, transparansi, akuntabilitas, kemampuan masyarakat, dan ketentuan lain yang berlaku.
Pada perkembangan selanjutnya, meski sering lebih bernuansa politis, pada awal tahun 2009 pemerintah mendengungkan pendidikan gratis. Kebijakan BOS yang sudah berlangsung beberapa periode untuk membantu operasional sekolah dalam rangka menyukseskan Wajib Belajar 9 tahun ditambah misi baru yaitu sekolah gratis.
Bagi banyak sekolah negeri, larangan menarik iuran menimbulkan dilemma tersendiri. Di satu sisi, sekolah tidak akan kehabisan peserta didik karena masih banyak orangtua yang lebih memilik sekolah gratis ketimbang sekolah berkualitas. Dengan begitu secara kuantitas, sekolah negeri tidak akan bangkrut, apalagi pembiayaan personalia seperti gaji guru/karyawan sudah masuk dalam anggaran pemerintah pusat. Di sisi lain tiadanya iuran menyebabkan sekolah kesulitan mengembangkan berbagai program yang selama ini dibiayai sekolah secara mandiri. Kegiatan seperti ekstra kurikuler, pembinaan olimpiade, KIR dan pembiayaan lain menjadi terhambat bahkan terhenti.
Pada beberapa sekolah negeri, kesulitan tersebut cepat dibaca oleh komite sekolah, yang kemudian mencari formulasi aman untuk menarik iuran dari orangtua peserta didik. Alhasil, mereka dapat tetap menjalankan berbagai program unggulan. Namun acapkali iuran yang ditarik tidak jauh beda dengan situasi sebelum kebijakan sekolah gratis. Ini menyebabkan opini masyarakat yang terlanjur menganggap sekolah gratis sesungguhnya tidak ada!
Permasalahan pembiayaan pendidikan di sekolah negeri diperrunyam lagi dengan adanya Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Keberadaan RSBI dan SBI memang berdasar pada Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) pasal 50 ayat (3), yang menyatakan “Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional”. Namun dalam kebijakan BOS, seperti dimuat dalam buku panduan Bantuan Operasional Sekolah untuk Pendidikan Gratis dalam rangka Wajib Belajar 9 Tahun yang Bermutu adalah menggratiskan seluruh siswa miskin di tingkat pendidikan dasar dari beban biaya operasional sekolah, baik di sekolah negeri maupun sekolah swasta. Tujuan khusus kedua adalah menggratiskan seluruh siswa SD negeri dan SMP negeri terhadap biaya operasional sekolah, kecuali pada rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) dan sekolah bertaraf internasional (SBI). Pengecualian ini mengandung implikasi pembedaan perlakuan dan mengundang permasalahan baru.
Di satu sisi sekolah negeri diharamkan menarik iuran dari peserta didik, di sisi lain sekolah negeri yang bertitel RSBI dan SBI dihalalkan menarik dana dari masyarakat. Keadaan ini akan mendorong praktek-praktek tidak sehat serta dampak seperti berikut:
1. Sekolah-sekolah tertentu berlomba-lomba menjadi RSBI dan SBI meski sesungguhnya tidak layak.
2. Bagi RSBI dan SBI seolah mendapat keleluasaan menarik iuran seberapapun besarnya.
3. RSBI dan SBI dapat berubah menjadi sekolah mahal dan ekskulif, sehingga bertentangan dengan Pasal 5 ayat (1) UU Sisdiknas, yang menyatakan “Setiap warga mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.”
4. Biaya pendidikan di RSBI/SBI tidak terjangkau, padahal sekolah itu adalah sekolah negeri yang mestinya terbuka untuk umum.

Kecuali itu terjadi ketidakjelasan acuan yang menyebabkan terjadinya simplifikasi pelaksanaan RSBI di lapangan, yaitu dalam bentuk proses belajar-mengajarnya sebagian menggunakan bahasa Inggris sebagai pengantar, ruangannya ber-AC, manajemennya diberi sertifikasi ISO, sedangkan kurikulumnya tetap menggunakan kurikulum pendidikan nasional. Tapi yang ironis adalah RSBI dan SBI itu tetap harus mengikuti ujian nasional. Ini jelas kontradiktif dengan dirinya sendiri dan sekaligus memperjelas ketidakjelasan konsep RSBI dan SBI tersebut, karena mau menjadi bertaraf internasional tapi tetap harus ikut UN (Darmaningtyas, 2010).

PENUTUP
Pembiayaan pendidikan merupakan aspek yang vital dalam upaya mengembangkan system pendidikan nasional. Pendidikan sebagai sebuah investasi Sumber Daya Manusia (SDM) bagi kehidupan bangsa dan Negara di masa mendatang tidak boleh dipandang remeh. Amanat Undang-undang yang mewajibkan pemerintah merealisasikan anggaran 20% untuk pendidikan sesungguhnya didasari oleh suatu wawasan jauh ke depan. Akan tetapi kenyataannya pada tataran implementasi, anggaran 20% tersebut masih dipelintir dan dipolitisir. Hal ini menyebabkan anggaran pendidikan tidak sesuai dengan amanat undang-undang, bahkan terkesan seadanya.
Namun keseriusan pemerintah dalam melaksanakan berbagai kebijakan, seperti Wajib Belajar (Wajar) 9 tahun serta Bantuan Operasional Sekolah (BOS) perlu mendapat apresiasi positif dari masyarakat. Kecuali itu masyarakat perlu mendukungnya dengan sikap kritis dalam mengawasi dan member masukan agar pelaksanaan kebijakan sungguh sesuai dengan tujuan. Suatu kebijakan tentu tidak lepas dari peran penguasa, akan tetapi kebijakan seharusnya mengabdi pada kepentingan masyarakat luas, lebih-lebih bagi masyarakat miskin yang selama ini jauh dari jangkauan pendidikan. Kebijakan tidak boleh mengabdi pada kepentingan politik sesaat, yang justru merugikan kepentingan rakyat banyak. Demikian pula kebijakan Sertifikasi guru, yang menghabiskan dana tidak sedikit seharusnya membawa dampak positif bagi peningkatan kualitas pendidikan. Diperlukan pembangunan system yang unggul.
Kebijakan sekolah gratis yang dikaitkan dengan program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) perlu disempurnakan dengan kebijakan lanjutan sehingga masyarakat luas terlayani haknya untuk memperoleh pendidikan murah, sekolah-sekolah negeri dan swasta tetap eksis memainkan perannya ambil bagian dalam system pendidikan nasional. Program pendidikan gratis tidak boleh mematikan peranserta masyarakat serta orangtua peserta didik untuk ikut membiayai pendidikan, mengingat pendidikan adalah investasi berharga untuk masa depan. Konsep pendidikan gratis seyogyanya diubah konsepnya menjadi pendidikan murah.
Keberadaan RSBI dan SBI hendaknya dikaji lebih mendalam, bukan saja dalam hal muatan kurikulum dan pembelajaran, tetapi juga dalam hal keleluasaan menarik iuran dari masyarakat. Manajemen pembiayaan pendidikan untuk RSBI dan SBI perlu dikonsep kembali sehingga RSBI dan SBI tidak menjadi sekolah ekslusif yang justru terkesan tidak berpihak pada masyarakat sederhana.
Sekolah-sekolah swasta seharusnya dihargai dan diapresiasi oleh Negara sebagai lembaga-lembaga yang ikut membangun investasi SDM masa depan yang tak ternilai harganya. Sekolah-sekolah swasta dengan segala keterbatasannya berusaha mencukupi kebutuhan operasional sekolah, mulai dari gaji, sarana-prasarana, biaya operasional hingga biaya investasi lainnya. Oleh sebab itu kebijakan pemerintah seperti BOS hendaknya benar-benar mendukung kehidupan sekolah swasta, bukan mematikannya. Dana Alokasi Khusus (DAK), block grant dan dana-dana pemerintah lainnya seharusnya mampu menjangkau bukan saja sekolah-sekolah ngeri, tetapi juga sekolah-sekolah swasta yang memiliki potensi dan prospek pengembangan ke depan. Teori seleksi alam tidak boleh dibiarkan terjadi dalam dunia pendidikan. Lembaga-lembaga yang lemah harus dibina dan didukung dengan berbagai dukungan sehingga mampu hidup, berkembang dan bersaing. Semuanya demi membangun SDM berkualitas untuk masa depan bangsa dan Negara.

DAFTAR PUSTAKA

Darmaningtyas, 2010. Stop Sekolah Bertaraf Internasional. Koran Tempo, Jumat, 30 Juli 2010 (Online), (http://darmaningtyas.blogspot.com, diakses 22 Oktober 2010)
Depdiknas. 2005. Renstra Departemen Pendidikan Nasional 2005 – 2009. (Online), (http://www.depdiknas.go.id, diakses 16 Oktober 2010)
Depdiknas. 2010. Renstra Kementerian Pendidikan Nasional 2010 – 2014: Melayani Semua Dengan Amanah. (Online), (http://www.depdiknas.go.id, diakses 16 Oktober 2010)
Prihadiyoko, Imam. Pembiayaan Pendidikan Sekolah Negeri di Indonesia. (Online). (http://kompas.com/kompas-cetak/0105/01/DIKBUD/pemb32.htm, diakses 22 Oktober 2010)
Sudarmanto, R. Gunawan. 2010. Pembiayaan Pendidikan Pada Era Otonomi Daerah (Permasalahan dan Prospeknya). (Online), (http://www.blok.unila.ac.id, diakses tanggal 16 Oktober 2010)
Sudarmanto, R. Gunawan. 2010. Pembiayaan Pendidikan Dan Otonomi Sekolah Dalam Menghadapi Globalisasi. Makalah pada Seminar Internasional tentang Globalisasi Pendidikan Program Pascasarjana FKIP Universitas Lampung, tanggal 21 Juni 2010. (Online), (http://www.blok.unila.ac.id, diakses tanggal 16 Oktober 2010)
Supriadi, Dedi. 2010. Satuan Biaya Pendidikan Dasar Dan Menengah. Bandung: Rosdakarya.
Sulistyoningrum, Nining. 2010. Standar Pembiayaan Pendidikan. (online), (http://niningsulistyoningrum.wrdpress.com, diakses 16 Oktober 2010)
UUD Negara Republik Indonesia 1945 (Amandemen IV).
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Minggu, 27 Juni 2010

Komite Sekolah dan Renstra


PERANAN KOMITE SEKOLAH
DALAM PENYUSUNAN RENSTRA SEKOLAH
Oleh : Markus Basuki (09370013/MKPP-PPS UMM)


Pengantar
Memasuki era globalisasi, lembaga-lembaga pendidikan harus mampu membaca tanda-tanda jaman, menganalisis secara kritis dan menjadikannya bagian dalam menentukan langkah-langkah strategis menuju masa depan. Lembaga pendidikan memiliki fungsi strategis karena dari sanalah akan terbentuk SDM berkualitas yang mampu bersaing dan berperan di era global itu. Sebaliknya, jika lembaga pendidikan gagal memanfaatkan perannya, akan lahir SDM-SDM yang lemah, yang hanya akan menjadi beban pembangunan. Di era global SDM berkualitas tidak lagi terkotak-kotak oleh batas territorial. Siapa pun bisa berperan maksimal di belahan dunia manapun tanpa proteksi. Bisa jadi jika lembaga-lembaga pendidikan kita gagal menelorkan SDM berkualitas, di masa depan kita tetap akan menjadi tenaga kasar, bahkan di negeri sendiri!
Permasalahan serius yang kini justru menjadi keprihatinan kita adalah rendahnya kualitas pendidikan. Berbagai upaya telah dan tengah diupayakan oleh pemerintah dan didukung oleh seluruh insan pendidikan. Lahirnya Undang-undang RI No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN), Undang-undang RI No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD), dan Peraturan Pemerintah RI No. 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) serta sejumlah peraturan perundang-undangan lainnya membuktikan betapa seriusnya upaya pemerintah meningkatkan kualitas pendidikan itu. Lepas dari itu semua setiap lembaga pendidikan sudah seharusnya melakukan perombakan pengelolaan dan menyusun langkah ke depan secara serius.

Renstra Sekolah
Perencanaan Strategis (Renstra) adalam perencanaan yang menyangkut hal-hal strategis yaitu pervasive, vital dan terus-menerus, yang bersifat luas dan jangka panjang (Sharplin). Renstra dapat dijabarkan maksudnya sebagai rencana jangka panjang yang mampu menjangkau hal-hal yang sifatnya strategis, menjangkau masa depan yang panjang dan luas dengan segala dinamikanya. Era global dengan segala riak dan dinamikanya harus sudah diperhitungkan sebelum menyusun rencana strategis. Rencana strategis berbeda dengan program-program lainnya karena memiliki keunggulan: a) mampu memprediksi masa depan dengan tajam, b) arah organisasi ssangat jelas, c) selalu memperhatikan perkembangan eksternal, d) mampu mengevaluasi diri secara cermat dan tajam, e) tujuan yang dicanangkan terukur dan g) menggunakan strategi yang tepat.
Renstra merupakan satu kesatuan unsur-unsur visi dan misi, analisis SWOT, tujuan dan strategi. Visi sekolah sebagai suatu wawasan jauh ke depan harus diterjemahkan dalam misi, yang berisi upaya-upaya sistematis dan konkret. Dengan analisis SWOT, dimaksudkan renstra mampu memanfaatkan peluang, mencegah ancaman, menggunakan kekuatan dan mengatasi kelemahan. Jadi segala energy baik positif maupun negative dapat disublimasikan dalam bentuk program. Misi yang dicanangkan diarahkan untuk mencapai tujuan yang spesifik dan terukur. Dan akhirnya untuk mencapai itu semua dibutuhkan strategi yang tepat.

Komite Sekolah
Komite Sekolah adalah organisasi mitra sekolah yang mulai dikenal sejak diluncurkannya konsep Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) dalam sistem manajemen sekola. Komite Sekolah sebagai memiliki peran yang sangat strategis dalam upaya turut serta mengembangkan pendidikan di sekolah. Keberadaan Komite Sekolah (juga Dewan Pendidikan – untuk tingkat kota) mengacu kepada undang-undang nomor 25 tahun 2000 tentang Progam Pembangunan Nasional (Propenas) tahun 2000-2004, dan sebagai implementasi dari undang-undang tersebut telah diterbitkan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 044/U/2002 tanggal 2 April 2002 tentang dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Menurut keputusan Mendiknas tersebut Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah memiliki peran sebagai advisory agency, supporting agency, controlling agency dan mediator agency.
Peran Komite Sekolah sebenarnya merupakan pengejawantahan peran masyarakat dalam ikut memikirkan kemajuan lembaga sekolah seperti yang tersirat dalam perubahan paradigma system pemerintahan dari sentralisasi menjadi desentralisasi. Roh desentralisasi telah membuka peluang bagi mmasyarakat untuk lebih meningkatkan peran sertanya dalam pengelolaan pendidikan khususnya sekolah. Peran Dewan Pendidikan (tingkat kota) dan Komite Sekolah (tingkat sekolah) jika dikelola dengan sungguh-sungguh dapat meningkatkan kemitraan masyarakat dengan pemerintah dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan.

Komite Sekolah dan Renstra
Komite Sekolah sebagai suatu lembaga independen tentu tidak bisa didikte siapapun termasuk oleh sekolah, namun ia juga harus mampu memposisikan diri secara wajar, sehingga visi misi sekolah dapat tercapai. Berkaitan dengan penyusunan Rencana Strategis Sekolah, Komite Sekolah dapat memainkan peran sebagai advisory agency dan supporting agency. Artinya, tanggung jawab sepenuhnya dalam menyusun Renstra tetap berada di pihak sekolah, tetapi dengan memperhasikan pertimbangan-pertimbangan dari Komite Sekolah. Logikanya, Komite Sekolah sebagai penjelmaan masyarakat harus didengar suaranya karena sekolah mendidik anggota masyarakat pula. Komite Sekolah juga memberikan dorongan dalam berbagai bentuk sehingga program-program sekolah dapat terlaksana dengan baik, termasuk penyusunan Renstra tersebut.
Tentu harus dipahami bahwa peranserta Komite Sekolah tidak sama di tiap wilayah, lebih-lebih antara pedesaan dan perkotaan. Membentuk Komite Sekolah di perkotaan tidak sulit, juga jika ingin melibatkan tokoh-tokoh masyarakat sesuai dengan bidang keahliannya. Tetapi, untuk sekolah-sekolah di daerah pinggiran tentu menjadi kesulitan tersendiri. Menurut Hendyat Sutopo dalam Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah – Riwayatmu Kini (2009), masih banyak masyarakat pinggiran masih terlalu sibuk berjuang agar anak mau masuk sekolah. Keikutsertaan memikirkan sekolah bagi mereka masih merupakan sesuatu yang jauh di awing-awang.
Secara ideal renstra sebagai rencana besar untuk masa depan sudah seharusnya digagas dan dibahas dengan matang oleh seluruh pemangku kepentingan, termasuk Komite Sekolah. Mengapa? Karena hasil dari rencana besar sekolah tersebut akhirnya akan menjadi hasil masyarakat pula, yang akan dipetik dan dinikmati oleh masyarakat pula. Arah kebijakan salah yang dibuat oleh sekolah akan mengakibatkan hasil yang tidak diterima oleh masyarakat pengguna jasa sekolah. Maka logis jika para pemangku kepentingan didengar suaranya agar turut memberikan arah dan warna rencana strategis masa depan sekolah.

Kesimpulan
Sekolah ada, hidup, berkembang dan berjuang mempersiapkan SDM berkualitas dari dan untuk masyarakat. Sekolah bertanggung jawab mengantarkan manusia-manusia agar menjadi seperti yang dicita-citakan sekolah dan masyarakat. Singkatnya, sekolah bertanggung jawab menyiapkan SDM berkualitas. Mengingat era persaingan global begitu deras, sehingga batas-batas Negara seolah tak lagi ada, maka tanggung jawab sekolah semakin berat dalam menyaipakn SDM berkualitas tadi.
Keberadaan Komite Sekolah sebagai perwujudan peranserta masyarakat bagi pengembangan sekolah hendaknya dipandang secara bijak dan wajar. Maka dalam rangka memformat sekolah masa depan dengan menyusun sebuah Rencana Strategis, Komite Sekolah hendaknya dilibatkan dengan sungguh-sungguh mengingat Komite Sekolah terdiri atas berbagai unsur masyarakat yang mewakili berbagai keahlian. Keterlibatan secara wajar namun sungguh-sungguh diharapkan ikut menelorkan sebuah Renstra yang sungguh strategis yaitu pervasive, vital, terus-menerus, bersifat luas dan menjangkau jangka panjang.

Delapan kunci perencanaan



MENDESAIN SEKOLAH DASAR
DENGAN DELAPAN KUNCI
Oleh : Markus Basuki (09370013/MKPP-PPS UMM)

Pengantar
Malukah kita mengakui, bahwa kualitas pendidikan di Indonesia sedang terpuruk? Setidaknya ada tiga data penunjang, untuk dapat menyimpulkan kualitas pendidikan di Indonesia masih terpuruk! Pertama, data UNESCO (2000) membuktikan bahwa peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index) Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998) dan ke-109 (1999). Kedua, menurut survey Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitan pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Dan ketiga, menurut data Balitbang (2003) menunjukkan kenyataan bahwa dari 146.052 Sekolah Dasar di Indonesia ternyata hanya ada delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP). Dari 20.918 SMP di Indonesia hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 SMA hanya tujuh sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program.
Khusus menyangkut kualitas Sekolah Dasar kiranya patur mendapat apresiasi khusus, mengingat pendidikan dasar sungguh sangat strategis sebagai basis tahapan pendidikan selanjutnya. Maka tatkala kualitas Sekolah Dasar masih amat rendah (setidaknya merunut pada pengakuan dunia) seluruh insane pendidikan patut memikirkan secara mendalam kemungkinan-kemungkinan membangunnya. Jumlah Sekolah Dasar di Indonesia hampir tujuh kali lipat jumlah SMP, maka membangun sekolah dasar yang berjumlah lebih 146.000 sungguh merupakan tugas berat bagi masyarakat dan Negara. Membangun sebuah perencanaan matang sebelum mendirikan atau mengembangkan Sekolah Dasar menjadi kewajiban bagi siapa pun yang peduli bagi peningkatan kualitas pendidikan, khususnya Sekolah Dasar.

Pentingnya Perencanaan
Perencanaan adalah pemilihan dan penghubungan pengetahuan, fakta, citra dan asumsi yang berkenaan dengan masa depan untuk visualisasi dan formulasi hasil yang diinginkan, aktivitas-aktivitas runtut yang diperlukan untuk mencapai hasil, serta pembatasan perilaku yang diterima dalam pencapaian tersebut (Cunningham, 1982:5). Perencanaan yang matang akan membantu pengelola sekolah melihat permasalahan baik yang nampak maupun tidak nampak dan mencarikan solusinya. Kecuali itu perencanaan yang matang dapat menjadi instrument untuk mengadaptasi inovasi baru,memecahkan konflik, memperbaiki pola pendekatan yang lama, meningkatkan kualitas, memperbaiki komunikasi, untuk mencapai hasil yang diinginkan. Perencanaan yang matang juga dapat dipergunakan untuk memfasilitasi pemecahan masalah.
Sumber Daya Manusia (SDM) pengelola Sekolah Dasar pada umumnya tidak sebanyak yang ada si SMP. Ini bisa dipahami karena di Sekolah Dasar masih diberlakukan system Guru Kelas sedang di SMP dan SMA menggunakan Guru Mata Pelajaran. Sekolah-sekolah tingkat SMP dan SMA juga memiliki tenaga administrasi jauh lebih banyak dari Sekolah Dasar. Oleh sebab itu proses pembuatan perencanaan untuk masa depan sekolah di Sekolah Dasar seringkali tidak tergarap dengan baik. Seorang Kepala SD tidak mampu seorang diri melakukan perencanaan tentang segala hal menyangkut masa depan sekolahnya. Untuk itulah para pengelola pendidikan khususnya SD harus dibantu memahami dan menerapkan perencanaan yang matang dan tepatguna!
Cunningham dalam bukunya Systematic Planning for Educational Change (1982) memperkenalkan langkah-langkah perencanaan dengan delapan kunci pertanyaan yang meliputi : a) Where are we?, b) Where do we want to go?, c) What resources will we commit to get there?, d) How do we get there?, e) When will it be done?, f) Who will be responsible?, g) What will be the impact on human resources? dan h) What data will be needed to measure progress? Kedelapan langkah tersebut sesungguhnya merupakan tuntunan melakukan suatu perencanaan yang memadai dan menyeluruh.
Langkah pertama dari delapan kunci Cunningham adalah memahami keberadaan. Pengelola harus mampu melihat keberadaan sekolah secara factual, artinya segi positif dan negative kondisi, baik yang tampak maupun tidak tampak. Kemampuan melihat fakta secara tajam akan menghasilkan pemetaan kondisi secara valid pula, dan ini akan menjadi langkah awal yang baik untuk membuat perencanaan. Langkah kedua adalah menentukan arah, ke mana sekolah akan dibawa. Menentukan atau merumuskan ulang visi dan misi serta tujuan sekolah adalah bagian dari menentukan arah ke mana sekolah diarahkan. Arah yang dirumuskan harus berkaitan dengan kondisi riil yang ada sehingga tetap realistis untuk dicapai. Langkah ketiga adalah melakukan inventarisasi sumber daya yang diperlukan untuk mencapai visi, misi dan tujuan yang dicanangkan. Sumber daya yang dimaksud menyangkut SDM guru dan pengelola, sarana prasarana, peserta didik, orangtua dan masyarakat, instansi terkait dan pemerintah serta lingkungan luas. Inventarisasi sumber daya berkaitan langsung dengan menentukan strategi dalam mencapai tujuan. Langkah keempat adalah menjawab dengan cara apa/metode apa tujuan dicapai. Langkah ini merupakan inventarisasi metode/cara yang bisa ditempuh menuju tujuan. Langkah kelima adalah menentukan skedul/jadwal pencapaian tujuan. Jika sumber daya sudah diketahui, arahnya sudah jelas dan cara yang dipakai sudah ditemukan tinggal menentukan jadwal kerja. Penjadwalan penting karena akan membantu proses monitoring dan evaluasi. Langkah keenam yang harus ditempuh adalah menentukan pelaksana dan saat mulai pelaksanaan. Penentuan pelaksana proyek tidak kesulitan karena telah ada inventarisasi sumber daya. Sedangkan penentuan saat dimulainya kegiatan dikaitkan dengan sumber daya berupa dana dan kesesuaian kegiatan dengan situasi, kondisi dan karakteristik SD yang bersangkutan. Langkah ketujuh berupa prediksi berkenaan dengan SDM yang ada. Langkah ini dapat dikatakan sebagai penentuan target, terutama berkaitan dengan SDM. Artinya, jika semua langkah perencanaan telah dilalui maka akan terjadi perubahan (yang diinginkan) berkaitan dengan SDM. Dan sebagai langkah terakhir, pengelola Sekolah Dasar harus juga mentukan parameter keberhasilan. Penentuan parameter keberhasilan akan membantu terlaksanaanya evaluasi yang efektif dan efisien. Oleh sebab itu sebelum suatu perencanaan dimulai dan diselesaikan seharusnya telah tersedia indicator-indikator keberhasilan program sekolah tersebut.

Kesimpulan
Membangun Sekolah Dasar adalah salah satu langkah taktis dan strategis untuk memperbaiki dan mendongkrak kualitas pendidikan di Indonesia. Mengingat jumlah Sekolah Dasar mencapai ratusan ribu dan tersebar di berbagai belahan bumi Indonesia yang memiliki karakteristik geografis, social dan budaya yang sangat beragam, maka dibutuhkan kebijakan khusus yang harus dipikirkan secara matang. Kebijakan yang dimaksud baik bersifat makro, yakni Kementerian Pendidikan, tetapi juga secara mikro yakni lembaga pendidikan yang bersangkutan.
Salah satu langkah penting menentukan kebijakan berkenaan dengan pendidikan, khususnya Sekolah Dasar adalah Perencanaan. Secara nasional pemerintah wajib membuat perencanaan matang berkaitan dengan keberadaan Sekolah Dasar.
Demikian pula dalam kalangan perguruan swasta, yayasan-yayasan pendidikan wajib membuat perencanaan yang matang pula. Perencanaan yang matang adalah yang berangkat dari situasi konkret, di mana suatu lembaga hidup. Perencanaan tersebut berusaha menjawab pertanyaan ke mana institusi hendak dibawa, sumber daya apa yang dibutuhkan, dengan cara apa, kapan tercapai, siapa pelaksana dan kapan dimulai, apa yang akan terjadi dengan SDM dan data apa yang dapat digunakan sebagai parameter kberhasilan.
Perencanaan yang dibuat dengan matang melalui langkah-langkah tepat dan taktis akan mampu merangkul segala elemen yang dibutuhkan untuk membangun lembaga pendidikan yang mampu tumbuh dan berkembang, khususnbya di era globalisasi ini. Sekolah Dasar harus mampu memberikan dasar-dasar yang kokoh bagi generasi muda untuk melanjutkan pendidikan dan perjuangannya, serta dalam membangun nusa bangsa dan tanah air.