Kamis, 21 Oktober 2010

KEBIJAKAN PEMBIAYAAN PENDIDIKAN ANTARA SEKOLAH SWASTA DAN SEKOLAH NEGERI

KEBIJAKAN PEMBIAYAAN PENDIDIKAN
ANTARA SEKOLAH SWASTA DAN SEKOLAH NEGERI
Markus Basuki


PENDAHULUAN


Latar Belakang Masalah
Keterpurukan bangsa yang selalu diangkat ke permukaan seringkali selalu dikaitkan dengan pendidikan. Pendidikan dinilai paling bertanggung jawab atas berbagai ketimpangan yang ada. Tentu tidak sepenuhnya salah dan benar. Pendidikan memang bidang strategis dalam membangun suatu bangsa. Kelalaian membangun pendidikan akan berakibat fatal bagi output SDM yang diharapkan. Kenyataan, pendidikan selama ini tidak dipandang penting, atau terpenting oleh sebagian masyarakat. Kesadaran akan nilai investasi pendidikan masih belum Nampak. Dukungan Negara dalam membangun pendidikan di Indonesia pun masih belum maksimal. Sudah ada upaya, namun belum signifikan tampak, lebih-lebih dalam bidang pembiayaan.
Semua pihak mengharapkan adanya pendidikan yang berkualitas, namun di sisi lain banyak pihak yang merasa keberatan untuk mengeluarkan dana sebagai sumber pembiayaan pendidikan. Masyarakat berdalih, pendidikan adalah tanggungan Negara. Dan pendapat tersebut tidak salah. Kualitas pendidikan, sebagaimana Negara dan masyarakat harapkan sangat ditentukan oleh tingkat pembiayan yang dilakukan. Guna menghasilkan pendidikan yang berkualitas tinggi diperlukan pembiayaan secara optimal.
Pembiayaan pendidikan menjadi masalah yang sangat penting dalam keseluruhan pembangunan sistem pendidikan. Uang memang tidak segala-galanya dalam menentukan kualitas pendidikan, tetapi segala kegiatan pendidikan memerlukan uang. Oleh karena itu jika performance sistem pendidikan diperbaiki, manajemen penganggarannya juga tidak mungkin dibiarkan, mengingat bahwa anggaran mesti mendukung kegiatan. Tidak semua masyarakat Indonesia sepenuhnya menyadari bahwa biaya pendidikan yang cukup akan dapat mengatasi berbagai masalah pendidikan, meskipun tidak semua masalah akan dapat dipecahkan secara tuntas (Sutjipto, 2004 dalam Sudarmanto: 2010).
Perbincangan tentang biaya pendidikan bukanlah sesuatu yang baru akan tetapi masih merupakan hal yang sangat menarik untuk dikaji, terutama pada tahun pelajaran baru. Biaya pendidikan merupakan salah satu komponen masukan instrumental yang sangat penting dalam penyelenggaraan pendidikan (di sekolah). Dalam setiap upaya pencapaian tujuan pendidikan—baik tujuan-tujuan yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif—biaya pendidikan memiliki peranan yang sangat menentukan. Lebih lanjut dinyatakan bahwa hampir tidak ada upaya pendidikan yang dapat mengabaikan peranan biaya, sehingga dapat dikatakan bahwa tanpa biaya, proses pendidikan (di sekolah) tidak akan berjalan (Supriadi, 2006:3 dalam Sudarmanto: 2010).
Di era globalisasi ini pembiayaan pendidikan harus menjadi perhatian serius bagi siapa saja yang hendak mengembangkan kualitas pendidikan, pemerintah maupun pihak swasta. Tentu, system dan manajemen pembiayaan pendidkan untuk sekolah negeri dan sekolah swasta harus dibedakan karena memang memiliki karakteristik yang berbeda.

Rumusan Masalah
Berdasar uraian di atas dapat dirumuskan masalah pembiayaan pendidikan di sekolah negeri dan sekolah swasta sebagai berikut :
1. Apa pentingnya pembiayaan pendidikan dalam keseluruhan program peningkatan kualitas pendidikan, khususnya di Indonesia?
2. Bagaimana implementasi pembiayaan pendidikan di sekolah negeri?
3. Bagaimana implementasi pembiayaan pendidikan di sekolah swasta?

Tujuan dan Manfaat
Makalah ini disusun untuk mengkaji secara sedikit mendalam sekitar permasalahan pembiayaan pendidikan terutama dikaitkan dengan keberadaan sekolah negeri dan sekolah swasta. Dengan pembahasan tersebut diharapkan diperoleh suatu persamaan konsep dasar mengenai pembiayaan pendidikan. Diperolehnya gambaran yang lebih jelas mengenai karakteristik pembiayaan pendidikan pada sekolah negeri dan sekolah swasta diharapkan mampu member masukan bagi perbaikan kebijakan pembiayaan pendidikan. Dengan demikian, dikotomi sekolah negeri dan sekolah swasta tidak semakin melebar. Karena harus diakui sekolah swasta khususnya, yang jumlahnya jauh melebihi sekolah negeri sesungguhnya memiliki jasa luar biasa bagi perkembangan bangsa dan Negara. Secara historis sekolah-sekolah swasta terbukti memiliki jalinan tak terpisahkan dengan keseluruhan proses pembangunan bangsa dan Negara.
Dengan membahas pembiayaan pendidikan di sekolah negeri dan swasta diharapkan menambah wawasan pembiayaan pendidikan, khususnya bagi para penentu kiebijakan baik pada tingkat lembaga (sekolah) maupun tingkat makro. Manfaat lain yang bisa diambil ialah diperoleh perimbangan opini public mengenai keberadaan sekolah swasta dan sekolah negeri, khususnya menyangkut kelangsungan hidup sekolah swasta. Kecuali itu diharapkan berimplikasi pada kebijakan yang lebih adil serta memihak kebenaran.

KAJIAN PUSTAKA

Kebijakan selalu dikaitkan dengan publik (Wikipedia bahasa Indonesia). Kebijakan Publik (Inggris: Public Policy) adalah keputusan-keputusan yang mengikat bagi orang banyak pada tataran strategis atau bersifat garis besar yang dibuat oleh pemegang otoritas publik. Sebagai keputusan yang mengikat publik maka kebijakan publik haruslah dibuat oleh otoritas politik, yakni mereka yang menerima mandat dari publik atau orang banyak, umumnya melalui suatu proses pemilihan untuk bertindak atas nama rakyat banyak. Selanjutnya, kebijakan publik akan dilaksanakan oleh administrasi negara yang di jalankan oleh birokrasi pemerintah. Fokus utama kebijakan publik dalam negara modern adalah pelayanan publik, yang merupakan segala sesuatu yang bisa dilakukan oleh negara untuk mempertahankan atau meningkatkan kualitas kehidupan orang banyak. Kebijakan pembiayaan pendidikan adalah salah satu keputusan otoritas public dalam rangka melaksanakan amanat undang-undang.
Pembiayaan pendidikan telah diatur dalam UUD Negara Republik Indonesia 1945 (Amandemen IV) yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan; setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya; pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang; negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional; pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional lebih lanjut telah mengatur beberapa pasal yang menjelaskan pendanaan pendidikan yaitu pada Pasal 11 Ayat 2 Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai lima belas tahun. Lebih lanjut pada Pasal 12, Ayat (1) disebutkan bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi yang orangtuanya tidak mampu membiayai pendidikannya dan mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orangtuanya tidak mampu membiayai pendidikannya. Di samping itu disebutkan pula bahwa setiap peserta didik berkewajiban ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi peserta didik yang dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam UU Sisdiknas Bab VIII tentang Wajib Belajar, Pasal 34 dinyatakan bahwa setiap warga negara yang berusia 6 (enam) tahun dapat mengikuti program wajib belajar; Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat. Ketentuan mengenai wajib belajar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan PP. Pendanaan Pendidikan menjadi tanggungjawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat. Sumber pendanaan pendidikan ditentukan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan. Pengelolaan dana pendidikan dilakukan berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik.
Dalam tataran aplikasi, pembiayaan pendidikan dibedakan antara lembaga-lembaga milik Negara (sekolah-sekolah negeri) dan lembaga masyarakat (sekolah-sekolah swasta). Pembiayaan pendidikan antara kedua jenis lembaga itu memiliki karakteristik yang berbeda. Sekolah negeri adalah sekolah milik Negara yang pembiayaannya menjadi tanggung jawab Negara sepenuhnya. Oleh sebab itu akuntabilitas dari kedua jenis lembaga pendidikan tersebut berbeda nuansanya.
Sekolah swasta adalah sekolah yang pengelolaannya dilakukan oleh masyarakat (bukan negara). Penyelenggaraan Sekolah swasta di Indonesia dilakukan oleh beranekaragam pihak, yaitu: yang memiliki latar belakang keagamaan, kebudayaan/kedaerahan, sekolah yang diselenggarakan oleh organisasi wanita dan sekolah yang merupakan bagian dari suatu organisasi besar dengan beraneka ragam latar belakang pula. Sekolah-sekolah swasta sering disebut-sebut sebagai mitra pemerintah dalam pendidikan, karena memang kenyataannya sekolah-sekolah swasta dan sekolah-sekolah negeri sama-sama membina anak-anak bangsa.

IMPLIKASI DAN PEMBAHASAN

Pentingnya pembiayaan pendidikan dalam keseluruhan program peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia

Pembiayaan pendidikan merupakan komponen yang sangat penting dalam penyelenggaraan pendidikan. Pembiayaan pendidikan yang bersifat makro maupun mikro haruslah tepat dan adil dan mengarah pada tujuan pendidikan nasional. Anatomi pembiayaan baik makro maupun mikro harus dipahami secara benar sehingga para pengambil keputusan sungguh dapat menghasilkan kebijakan yang tepatguna. Diperlukan suatu penelitian atau studi yang mendalam khususnya saat menentukan kebijakan pembiayaan pendidikan yang bersifat mikro, yaitu pada tataran lembaga/sekolah. Pada umumnya penelitian lebih terfokus pada pembiayaan pendidikan dalam skala makro (Supriadi, 2010: iv). Disadari sepenuhnya bahwa berdasar studi pada sekolah-sekolah negeri pada tahun 2002 ditemukan suatu fakta: tingginya peranan keluarga dalam pembiayaan pendidikan. Bahkan kalau dihitung dan dibandingkan dengan subsidi pemerintah, biaya pendidikan dari orangtua lebih banyak jumlahnya (Supriadi, 2010: v). Kenyataan ini tentu ikut mempengaruhi kebijakan pembiayaan pendidikan pada tahun-tahun berikutnya.
Konsep biaya pendidikan ini dapat dibedakan dengan cara mengelompokkan biaya yang terjadi, yaitu (1) social and private cost, (2) opportunity cost and money cost, and (3) explicit and implicit costs (Latchanna dan Hussein, 2007: 52—56). Pendapat ahli lain menyatakan bahwa dalam pendidikan dikenal beberapa kategori biaya pendidikan yaitu (1) biaya langsung (direct cost) dan biaya tidak langsung (indirect cost), (2) biaya pribadi (private cost) dan biaya sosial (social cost), dan (3) biaya dalam bentuk uang (monetary cost) dan bukan uang (non-menetary cost) (Anwar, 1991; Gaffar, 1991; Thomas, 1972 dalam Sudarmanto: 2010). Dalam kenyataannya, pengkategorian biaya pendidikan tersebut dapat “tumpang tindih”; misalnya ada biaya pribadi dan sosial yang bersifat langsung dan tidak langsung serta berupa uang dan bukan uang, dan ada juga biaya langsung dan tidak langsung serta biaya pribadi dan biaya social yang dalam bentuk uang maupun bukan uang (Supriadi, 2010: 4).
Pengeluaran sekolah berkaitan dengan pembayaran keuangan sekolah untuk pembelian berbagai macam sumberdaya atau masukan (input) proses sekolah seperti tenaga administrasi, guru-guru, bahan-bahan, perlengkapan-perlengkapan dan fasilitas. Biaya menggambarkan nilai seluruh sumberdaya yang digunakan dalam proses sekolah apakah terdapat dalam anggaran sekolah dan pengeluaran atau tidak.
Dilihat dari sumber-sumbernya, biaya pendidikan pada tingkat makro berasal dari: (1) pendapatan Negara dari sector pajak, (2) pendapatan Negara dari sector non pajak, (3) keuntungan dari sector barang dan jasa dan (4) usaha-usaha Negara lainnya. Sementara di tingkat daerah, baik tingkat satu maupun tingkat dua berasal dari kucuran dana dari pusat beserta yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sementara dalam tataran sekolah, baik sekolah swasta maupun negeri pada dasarnya berasal dari subsidi pemerintah pusat, pemerintah daerah, iuran siswa dan sumbangan masyarakat (Supriadi, 2010: 4). Mengacu pada perundang-undangan yang berlaku, negaralah yang paling bertanggung jawab atas pembiayaan pendidikan secara makro. Akan tetapi peran masyarakat untuk ikut serta bertanggung jawab terhadap kelangsungan pendidikan juga tidak boleh dimatikan. Ketentuan dalam UU Sisdiknas Bab VIII tentang Wajib Belajar, Pasal 34 menyatakan bahwa setiap warga negara yang berusia 6 (enam) tahun dapat mengikuti program wajib belajar; Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat. Ketentuan tersebut kemudian diikuti oleh kebijakan-kebijakan lain seperti BOS (Biaya Operasional Sekolah).
Tujuan khusus kebijakan BOS seperti dimuat dalam buku panduan Bantuan Operasional Sekolah untuk Pendidikan Gratis dalam rangka Wajib Belajar 9 Tahun yang Bermutu adalah menggratiskan seluruh siswa miskin di tingkat pendidikan dasar dari beban biaya operasional sekolah, baik di sekolah negeri maupun sekolah swasta. Tujuan khusus kedua adalah menggratiskan seluruh siswa SD negeri dan SMP negeri terhadap biaya operasional sekolah, kecuali pada rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) dan sekolah bertaraf internasional (SBI).
Implemetasi dari program tersebut sejak Januari 2009 pemerintah mewajibkan seluruh Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama Negeri seluruh Indonesia untuk menggratiskan seluruh peserta didik dari kewajiban membayar uang sekolah, kecuali untuk sekolah kategori khusus, misalnya Sekolah Bertaraf Internasional. Kebijakan ini tentu membawa dampak positif dan negatif bagi dunia pendidikan di tanah air. Pihak-pihak yang menerima dampak langsung adalah sekolah-sekolah yang diselenggarakan oleh masyarakat (swasta).
Kebijakan BOS secara umum sangat membantu sekolah dan orangtua murid. Namun kala kebijakan ini langsung dilanjutkan dengan program sekolah gratis maka menimbulkan benturan-benturan di lapangan. Penyelenggaraan pendidikan bukan semua ditangani negara, bahkan yang ditangani oleh masyarakat (swasta) jumlahnya jauh lebih besar. Sekolah-sekolah swasta juga selalu disebut-sebut sebagai mitra pemerintah, karena memang kenyataannya sekolah-sekolah swasta dan sekolah-sekolah negeri sama-sama membina anak-anak bangsa. Sekolah-sekolah swasta membutuhkan kebijakan khusus berkaitan dengan program BOS jka keberadaannya masih tetap dibutuhkan. Sebenarnya, sekolah-sekolah negeri pun mengalami masalah serupa, terutama ketika mereka tidak boleh menarik iuran sama sekali. Akhirnya di lapangan muncul berbagai trik kebijakan untuk memayungi penarikan iuran. Salah satu yang juga disorot adalah keberadaan sekolah bertaraf Internasional yang diberi keleluasaan menarik iuran. Alhasil, sekolah-sekolah tersebut bersifat eksklusif. Padahal pendidikan adalah hak setiap warga negara.
Menurut Renstra Kementerian Pendidikan tahun 2010 – 2014, khususnya berkaitan dengan Strategi Pendanaan Pendidikan diatur hal-hal pokok seperti berikut :
1. Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja Negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah.
2. Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat (UU Sisdiknas).
3. Bagi satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat ada komponen pendanaan yang ditanggung oleh penyelenggara/masyarakat yang bersangkutan dan ada pula yang perlu mendapat dukungan dari pemerintah.
4. Pendanaan pendidikan juga menjadi tanggung jawab peserta didik dan orangtua peserta didik, untuk biaya-biaya khusus seperti biaya pribadi.
5. Pendanaan pendidikan dapat pula diperoleh dari masyarakat di luar penyelenggara pendidikan.
Mengacu pada kebijakan “sekolah gratis” yang didengungkan pada awal 2009 oleh pemerintah, sesungguhnya ada hal-hal yang harus dikritisi dan jika perlu dilakukan penelitian lebih mendalam. Dari kebijakan tersebut seolah-olah pembiayaan pendidikan dapat ditanggung oleh Negara (pemerintah pusat dan daerah). Biaya pendidikan di tingkat sekolah berasal dari tiga sumber yaitu pemerintah, keluarga peserta didik dan masyarakat. Menurut Dedi Supriadi (2010: 26) penghitungan biaya pendidikan dewasa ini cenderung bias dana pemerintah dengan mengabaikan daa yang berasal dari keluarga peserta didik dan masyarakat. Dana yang berasal dari keluarga peserta didik dan masyarakat cenderung kurang diangkat, sekaan-akan tidak sepenting dana dari pemerintah. Kalaupun kontribusi keluarga dan masyarakat diperhitungkan, terbatas pada sumbangan yang dikelola oleh Komite Sekolah. Padahal dana yang dibelanjakan langsung oleh keluarga dan masyarakat tidak pernah dihitung secara cermat. Klemahan penghitungan dana pendidkan secara demikian mengandung kelemahan memprediksi jumlah riil biaya yang benar-benar digunakan untuk mendukung penyelenggraaan pendidikan, karena mengabaikan kontribusi orangtua (Supriadi, 2010: 27).


Pembiayaan pendidikan di sekolah swasta
Sekolah swasta adalah lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat (bukan Negara). Penyelenggaraan Sekolah swasta di Indonesia dilakukan oleh beranekaragam pihak, yaitu: yang memiliki latar belakang keagamaan, kebudayaan/kedaerahan, sekolah yang diselenggarakan oleh organisasi wanita dan sekolah yang merupakan bagian dari suatu organisasi besar dengan beraneka ragam latar belakang pula. Dari perspektif manajemen penyelenggaraan pendidikan keragaman latar belakang itu berkaitan dengan kemampuan finansial kompetensi professional, dan akuntabilitas penyelenggaraan terhadap pemakai jasa pendidikan. Dalam keragaman itu pula, badan-badan penyelenggara pendidikan swasta dihadapkan dengan kewajiban mengimplementasikan salah satu strategi pokok kebijakan pendidikan nasional, yaitu peningkatan mutu pendidikan sekaligus mengimplementasikan kebijakan pembiayaan pendidikan.

Sekolah swasta di Indonesia, selain memiliki akar sejarah yang kuat juga memiliki berbagai keuntungan dalam hal jaminan perundang-undangan, sifatnya yang manageable untuk peningkatan mutu dan difusi gagasan, pengelolaannya lebih otonomi, jalur birokrasinya lebih pendek, dan adanya keleluasaan berinovasi ke arah peningkatan mutu dan kinerja sekolah. Namun jika berhadapan dengan program pemerintah mengenai sekolah gratis, pengelolaan sekolah swasta menghadapi kendala yang serius. Ini terjadi jika tidak ada kebijakan lanjutan yang sungguh mempertimbangkan posisi perguruan swasta sebagai mitra sekolah-sekolah negeri
Pada dasarnya sekolah swasta membiayai operasional sekolahnya secara mandiri. Jika sekolah-sekolah swasta berada dalam suatu korporasi bisa terjadi subsidi silang antar sekolah dalam satu naungan. Kebijakan BOS di satu sisi membantu sekolah-sekolah swasta dalam pembiayaan operasional. Orangtua juga terbantu karena dana BOS juga digunakan untuk meringankan iuran orangtua. Berbagai kebutuhan dan fasilitas belajar peserta didik juga sangat terbantu dengan adanya dana BOS.
Namun, tatkala kebijakan BOS dibarengi dengan kebijakan sekolah gratis, bagi sekolah-sekolah swasta menjadi masalah besar, meskipun pemerintah menetapkan sekolah gratis sementara ini hanya untuk SD dan SMP Negeri. Sekolah-sekolah negeri sejauh ini biaya personalia ditanggung oleh negara. Oleh sebab itu dana BOS secara teoritis sudah dapat menutup biaya operasional sekolah. Sementara itu sekolah-sekolah swasta menanggung seluruh pembiayaan, termasuk biaya personalia. Maka, jika memang benar kebijakan BOS dimaksudkan untuk membuat pendidikan gratis, sekolah-sekolah swasta berada dalam kesulitan. Kesulitan-kesulitan itu antara lain : sekolah swasta terancam kehilangan murid, karena sebagian murid mencari sekolah gratis. Atau jika sekolah-sekolah swasta ikut menggratiskan seluruh siswa, operasional sekolah terancam kelangsungannya. Hal ini tidak terjadi jika anggaran pendidikan yang dikeluarkan oleh negara sungguh mampu menutup seluruh biaya pendidikan.
Permasalahan yang dihadapi sekolah-sekolah swasta pada masa sekarang bukan hanya masalah pembiayaan, tetapi juga kualitas dan ketersediaan peserta didik yang memadai. Teori yang mengatakan bahwa sekolah negeri dan swasta sama-sama dikembangkan oleh Negara perlu dipertanyakan secara kritis. Dana block grant yang selalu didengungkan belum mampu menjangkau seluruh sekolah yang membutuhkan. Akibatnya, sekolah-sekolah swasta akan semakin terpuruk. Sekolah-sekolah swasta yang lemah pelan-pelan akan tutup. Sekolah swasta yang semula kuat pelan-pelan akan melemah. Penyebabnya, lemah dari pembiayaan sehingga kualitas sarana prasarana tertinggal, SDM terbelakang, kekurangan peserta didik dan akhirnya pelan-pelan bangkrut. Tentu tidak bisa dipungkiri, ada pula sekolah-sekolah swasta yang tetap tegar di tengah persaingan. Tetapi sampai kapan?

Pembiayaan pendidikan di sekolah negeri
Pembiayaan pendidikan sekolah negeri di Indonesia berubah seiring pelaksanaan otonomi daerah. Dengan diberlakukannya Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sejak 1 Januari 2001, kewenangan pemerintah pusat dan daerah pun berubah total. Jika selama ini segala sesuatu serba berbau sentralisasi, maka sejak Januari lalu sejumlah urusan--khususnya bidang pendidikan; dasar dan menengah--diserahkan kepada daerah alias didesentralisasikan. Secara formal, pendidikan merupakan salah satu sektor yang pelaksanaan fungsinya dilakukan daerah. Artinya, pemerintah daerah akan mempunyai peran yang lebih besar dalam penanganan masalah pendidikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. (Prihandiyoko, 2001). Peningkatan peran ini termasuk dalam pengalokasian dana pendidikan. Bagi pemerintah daerah, peningkatan peran ini mempunyai dua arti. Selain sebagai momentum, juga menjadi tantangan bagi daerah untuk membuktikan komitmennya dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) melalui pendidikan.

Pasal 6 Keputusan Mendiknas No 056/U/2001 tentang Pedoman Pembiayaan Penyelenggaraan Pendidikan di Sekolah menyebutkan, penyelenggaraan pendidikan di sekolah dibiayai terutama dari anggaran daerah otonom penyelenggara sekolah yang bersangkutan. Selain itu, pembiayaan dapat dilakukan melalui pemberdayaan peran serta masyarakat, orangtua, dan sumber lainnya. Prinsip yang harus diperhatikan adalah asas musyawarah, mufakat, keadilan, transparansi, akuntabilitas, kemampuan masyarakat, dan ketentuan lain yang berlaku.
Pada perkembangan selanjutnya, meski sering lebih bernuansa politis, pada awal tahun 2009 pemerintah mendengungkan pendidikan gratis. Kebijakan BOS yang sudah berlangsung beberapa periode untuk membantu operasional sekolah dalam rangka menyukseskan Wajib Belajar 9 tahun ditambah misi baru yaitu sekolah gratis.
Bagi banyak sekolah negeri, larangan menarik iuran menimbulkan dilemma tersendiri. Di satu sisi, sekolah tidak akan kehabisan peserta didik karena masih banyak orangtua yang lebih memilik sekolah gratis ketimbang sekolah berkualitas. Dengan begitu secara kuantitas, sekolah negeri tidak akan bangkrut, apalagi pembiayaan personalia seperti gaji guru/karyawan sudah masuk dalam anggaran pemerintah pusat. Di sisi lain tiadanya iuran menyebabkan sekolah kesulitan mengembangkan berbagai program yang selama ini dibiayai sekolah secara mandiri. Kegiatan seperti ekstra kurikuler, pembinaan olimpiade, KIR dan pembiayaan lain menjadi terhambat bahkan terhenti.
Pada beberapa sekolah negeri, kesulitan tersebut cepat dibaca oleh komite sekolah, yang kemudian mencari formulasi aman untuk menarik iuran dari orangtua peserta didik. Alhasil, mereka dapat tetap menjalankan berbagai program unggulan. Namun acapkali iuran yang ditarik tidak jauh beda dengan situasi sebelum kebijakan sekolah gratis. Ini menyebabkan opini masyarakat yang terlanjur menganggap sekolah gratis sesungguhnya tidak ada!
Permasalahan pembiayaan pendidikan di sekolah negeri diperrunyam lagi dengan adanya Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Keberadaan RSBI dan SBI memang berdasar pada Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) pasal 50 ayat (3), yang menyatakan “Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional”. Namun dalam kebijakan BOS, seperti dimuat dalam buku panduan Bantuan Operasional Sekolah untuk Pendidikan Gratis dalam rangka Wajib Belajar 9 Tahun yang Bermutu adalah menggratiskan seluruh siswa miskin di tingkat pendidikan dasar dari beban biaya operasional sekolah, baik di sekolah negeri maupun sekolah swasta. Tujuan khusus kedua adalah menggratiskan seluruh siswa SD negeri dan SMP negeri terhadap biaya operasional sekolah, kecuali pada rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) dan sekolah bertaraf internasional (SBI). Pengecualian ini mengandung implikasi pembedaan perlakuan dan mengundang permasalahan baru.
Di satu sisi sekolah negeri diharamkan menarik iuran dari peserta didik, di sisi lain sekolah negeri yang bertitel RSBI dan SBI dihalalkan menarik dana dari masyarakat. Keadaan ini akan mendorong praktek-praktek tidak sehat serta dampak seperti berikut:
1. Sekolah-sekolah tertentu berlomba-lomba menjadi RSBI dan SBI meski sesungguhnya tidak layak.
2. Bagi RSBI dan SBI seolah mendapat keleluasaan menarik iuran seberapapun besarnya.
3. RSBI dan SBI dapat berubah menjadi sekolah mahal dan ekskulif, sehingga bertentangan dengan Pasal 5 ayat (1) UU Sisdiknas, yang menyatakan “Setiap warga mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.”
4. Biaya pendidikan di RSBI/SBI tidak terjangkau, padahal sekolah itu adalah sekolah negeri yang mestinya terbuka untuk umum.

Kecuali itu terjadi ketidakjelasan acuan yang menyebabkan terjadinya simplifikasi pelaksanaan RSBI di lapangan, yaitu dalam bentuk proses belajar-mengajarnya sebagian menggunakan bahasa Inggris sebagai pengantar, ruangannya ber-AC, manajemennya diberi sertifikasi ISO, sedangkan kurikulumnya tetap menggunakan kurikulum pendidikan nasional. Tapi yang ironis adalah RSBI dan SBI itu tetap harus mengikuti ujian nasional. Ini jelas kontradiktif dengan dirinya sendiri dan sekaligus memperjelas ketidakjelasan konsep RSBI dan SBI tersebut, karena mau menjadi bertaraf internasional tapi tetap harus ikut UN (Darmaningtyas, 2010).

PENUTUP
Pembiayaan pendidikan merupakan aspek yang vital dalam upaya mengembangkan system pendidikan nasional. Pendidikan sebagai sebuah investasi Sumber Daya Manusia (SDM) bagi kehidupan bangsa dan Negara di masa mendatang tidak boleh dipandang remeh. Amanat Undang-undang yang mewajibkan pemerintah merealisasikan anggaran 20% untuk pendidikan sesungguhnya didasari oleh suatu wawasan jauh ke depan. Akan tetapi kenyataannya pada tataran implementasi, anggaran 20% tersebut masih dipelintir dan dipolitisir. Hal ini menyebabkan anggaran pendidikan tidak sesuai dengan amanat undang-undang, bahkan terkesan seadanya.
Namun keseriusan pemerintah dalam melaksanakan berbagai kebijakan, seperti Wajib Belajar (Wajar) 9 tahun serta Bantuan Operasional Sekolah (BOS) perlu mendapat apresiasi positif dari masyarakat. Kecuali itu masyarakat perlu mendukungnya dengan sikap kritis dalam mengawasi dan member masukan agar pelaksanaan kebijakan sungguh sesuai dengan tujuan. Suatu kebijakan tentu tidak lepas dari peran penguasa, akan tetapi kebijakan seharusnya mengabdi pada kepentingan masyarakat luas, lebih-lebih bagi masyarakat miskin yang selama ini jauh dari jangkauan pendidikan. Kebijakan tidak boleh mengabdi pada kepentingan politik sesaat, yang justru merugikan kepentingan rakyat banyak. Demikian pula kebijakan Sertifikasi guru, yang menghabiskan dana tidak sedikit seharusnya membawa dampak positif bagi peningkatan kualitas pendidikan. Diperlukan pembangunan system yang unggul.
Kebijakan sekolah gratis yang dikaitkan dengan program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) perlu disempurnakan dengan kebijakan lanjutan sehingga masyarakat luas terlayani haknya untuk memperoleh pendidikan murah, sekolah-sekolah negeri dan swasta tetap eksis memainkan perannya ambil bagian dalam system pendidikan nasional. Program pendidikan gratis tidak boleh mematikan peranserta masyarakat serta orangtua peserta didik untuk ikut membiayai pendidikan, mengingat pendidikan adalah investasi berharga untuk masa depan. Konsep pendidikan gratis seyogyanya diubah konsepnya menjadi pendidikan murah.
Keberadaan RSBI dan SBI hendaknya dikaji lebih mendalam, bukan saja dalam hal muatan kurikulum dan pembelajaran, tetapi juga dalam hal keleluasaan menarik iuran dari masyarakat. Manajemen pembiayaan pendidikan untuk RSBI dan SBI perlu dikonsep kembali sehingga RSBI dan SBI tidak menjadi sekolah ekslusif yang justru terkesan tidak berpihak pada masyarakat sederhana.
Sekolah-sekolah swasta seharusnya dihargai dan diapresiasi oleh Negara sebagai lembaga-lembaga yang ikut membangun investasi SDM masa depan yang tak ternilai harganya. Sekolah-sekolah swasta dengan segala keterbatasannya berusaha mencukupi kebutuhan operasional sekolah, mulai dari gaji, sarana-prasarana, biaya operasional hingga biaya investasi lainnya. Oleh sebab itu kebijakan pemerintah seperti BOS hendaknya benar-benar mendukung kehidupan sekolah swasta, bukan mematikannya. Dana Alokasi Khusus (DAK), block grant dan dana-dana pemerintah lainnya seharusnya mampu menjangkau bukan saja sekolah-sekolah ngeri, tetapi juga sekolah-sekolah swasta yang memiliki potensi dan prospek pengembangan ke depan. Teori seleksi alam tidak boleh dibiarkan terjadi dalam dunia pendidikan. Lembaga-lembaga yang lemah harus dibina dan didukung dengan berbagai dukungan sehingga mampu hidup, berkembang dan bersaing. Semuanya demi membangun SDM berkualitas untuk masa depan bangsa dan Negara.

DAFTAR PUSTAKA

Darmaningtyas, 2010. Stop Sekolah Bertaraf Internasional. Koran Tempo, Jumat, 30 Juli 2010 (Online), (http://darmaningtyas.blogspot.com, diakses 22 Oktober 2010)
Depdiknas. 2005. Renstra Departemen Pendidikan Nasional 2005 – 2009. (Online), (http://www.depdiknas.go.id, diakses 16 Oktober 2010)
Depdiknas. 2010. Renstra Kementerian Pendidikan Nasional 2010 – 2014: Melayani Semua Dengan Amanah. (Online), (http://www.depdiknas.go.id, diakses 16 Oktober 2010)
Prihadiyoko, Imam. Pembiayaan Pendidikan Sekolah Negeri di Indonesia. (Online). (http://kompas.com/kompas-cetak/0105/01/DIKBUD/pemb32.htm, diakses 22 Oktober 2010)
Sudarmanto, R. Gunawan. 2010. Pembiayaan Pendidikan Pada Era Otonomi Daerah (Permasalahan dan Prospeknya). (Online), (http://www.blok.unila.ac.id, diakses tanggal 16 Oktober 2010)
Sudarmanto, R. Gunawan. 2010. Pembiayaan Pendidikan Dan Otonomi Sekolah Dalam Menghadapi Globalisasi. Makalah pada Seminar Internasional tentang Globalisasi Pendidikan Program Pascasarjana FKIP Universitas Lampung, tanggal 21 Juni 2010. (Online), (http://www.blok.unila.ac.id, diakses tanggal 16 Oktober 2010)
Supriadi, Dedi. 2010. Satuan Biaya Pendidikan Dasar Dan Menengah. Bandung: Rosdakarya.
Sulistyoningrum, Nining. 2010. Standar Pembiayaan Pendidikan. (online), (http://niningsulistyoningrum.wrdpress.com, diakses 16 Oktober 2010)
UUD Negara Republik Indonesia 1945 (Amandemen IV).
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.